BREAKING NEWS

YAYASAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN INDONESIA (YAPPI) email: teamyappi@gmail.com WA: 0813 1036 9438

KORPORASI PETERNAK RAKYAT (Prof. Muladno)

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

Korporasi peternak rakyat sebagai bentuk kebersamaan dalam berbisnis ternak merupakan keniscayaan bagi komunitas peternak rakyat di Indonesia. Peternak kecil yang jumlahnya jutaan ini tidak akan pernah bisa berkembang jika mereka melakukan usaha peternakan sendiri-sendiri. Cepat atau lambat mereka akan tergilas oleh kekuatan besar.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) mulai tahun 2020 ini meluncurkan program superprioritas 1000 desa sapi. Walaupun nama programnya hanya menggunakan komoditas sapi, program ini juga mencakup semua komoditas. Tujuan utamanya adalah mewujudkan korporasi sebagai usaha kolektif berjamaah yang dijalankan komunitas peternak rakyat yang tinggal di kawasan terpilih. 

Kawasan ini nanti terdiri atas maksimal lima desa yang secara geografis saling berdekatan. Untuk memulai bisnisnya berbasis korporasi itu, pemerintah akan memberikan 100 ekor sapi jantan (untuk usaha penggemukan) dan 100 ekor sapi betina (untuk usaha pembiakan) di setiap desa dalam kawasan korporasi tersebut. Ini benar-benar merupakan pekerjaan besar bagi komunitas peternak rakyat dan resiko gagalnya tinggi jika tidak dirancang secara matang dan bertahap implementasinya.

Lebih dari 85% peternak rakyat maksimum lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan skala kepemilikan ternak sapinya 2 - 3 ekor per peternak. Mereka juga bekerja secara tradisional, sendiri-sendiri, dan menjadikan ternaknya sebagai tabungan hidup. Kondisi peternak seperti itu sudah diketahui publik bertahun tahun. Ratusan peternak dalam kawasan itu yang menjadi target untuk dihimpun dan diarahkan agar dapat menjalankan usaha peternakan secara kolektif berjamaah yang minimal melibatkan ratusan peternak per korporasi.

Jika program superprioritas (program atas perintah langsung Presiden RI) dikerjakan sendiri oleh DJPKH, maka dapat dipastikan akan gagal. Bukan karena DJPKH tidak mampu tetapi pekerjaan ini terlalu besar, kompleks, dan aktor utamanya adalah komunitas peternak rakyat berkualifikasi pendidikan rendah. Apalagi dalam program ini direncanakan akan ada pendistibusian 1000 ekor indukan sapi impor per kawasan oleh pemerintah pusat kepada komunitas peternak rakyat di lokasi korporasi. Dengan asumsi harga sapi impor adalah Rp.25juta per ekor, maka akan ada aliran dana minimal Rp. 25 Milyard di setiap per kawasan. Angka ini merupakan salah satu sumber potensi kegagalan program secara keseluruhan. Banyak kepentingan akan bermain di situ.

Jika ingin berhasil, tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut: (1) siapkan komunitas peternak rakyat sebaik-baiknya untuk memahami betul arti dan makna korporasi. Dengan kondisi sumberdaya manusia peternak seperti disebutkan di atas, tahap ini merupakan yang paling sulit. (2) Melakukan uji coba (praktikum) berbisnis kolektif berjamaah melalui kerjasama dengan komunitas masyarakat untuk dapat memahami filosofi usaha bersama sebaik-baiknya, juga untuk mengetahui soliditas tim dan semangat berjamaahnya dalam berbisnis. Minimal diperlukan waktu satu tahun untuk melakukan uji coba kerjasama bisnis. (3) Regulasi yang menjamin keberlangsungan usaha korporasi harus disiapkan dan diterbitkan sebelum program superprioritas diterapkan. (4) Melakukan koordinasi di tingkat bawah yang melibatkan unsur desa, kecamatan, TNI/POLRI, dan dinas terkait tingkat kabupaten/kota untuk merumuskan siapa berbuat apa. (5) Implementasi program korporasi secara resmi di komunitas peternak yang telah disiapkan melalui tahapan tersebut di atas.

Untuk memulai tahapan tersebut, bupati/walikota merupakan pihak yang paling berperan. Pemimpin daerah tersebut harus mengalokasikan anggarannya untuk dapat menggandeng perguruan tinggi agar dosen dan mahasiswa memberikan pembelajaran kepada komunitas peternak rakyat. Institusi pendidikan ini yang paling kompeten dalam mempersiapkan komunitas peternak rakyat agar dapat menjalankan usaha peternakan berbasis korporasi.

Tantangan berikutnya adalah mengajak komunitas masyarakat untuk dapat menjadi mitra bisnis komunitas peternak rakyat sebagai bagian dari uji coba bisnis peternakan secara berjamaah. Ini penting dilakukan sekalian untuk mengetahui tingkat kepercayaan publik terhadap peternak rakyat dalam bermitra bisnis. Selama ini banyak kesan bahwa pemitra kapok bermitra dengan peternak rakyat karena selalu berakhir dengan ketidakberesan.

Masih ada sederetan tantangan lainnya yang dihadapi oleh penyelenggara program korporasi bagi komunitas peternak rakyat ini yang hanya dapat diatasi melalui sinergi dan kolaborasi banyak pihak yang sehati dan sevisi memperbaiki nasib peternak rakyat yang telah lama tak berdaya. Tanggalkan egoistis dan perkuat kolaborasi berlandaskan kesetaraan. Ini harus tercermin dalam semua strategi dan aksi menjalankan program superprioritas 1000 desa sapi.***

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Fapet IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Penasehat Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

BELAJAR "MELAMPAUI EFEKTIVITAS" DARI BANGUN DIORO, PENERIMA INDO LIVESTOCK AWARD 2016

Jika kita ingin mengubah nasib, maka perlu dimulai dengan mengubah kebiasaan, karena kebiasaan adalah modal keberhasilan. Demikian pesan utama dalam buku “7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen R Covey yang saya tulis di artikel Refleksi majalah Infovet.

Beberapa tahun setelah buku tersebut terbit, Stephen mengatakan, dalam hidup ini, efektif saja rupanya tidak cukup. Ada satu hal yang luar biasa dalam hidup ini yang akan menembus efektivitas seseorang, yaitu voice (suara hati, panggilan jiwa). Ia menyebut ini sebagai kebiasaan ke delapan. 

Stephen kemudian menulis buku berjudul The 8th Habits, kebiasaan ke delapan, sebagai penjelas pandangannya mengenai suara hati. Dikatakan, kebiasaan ke delapan dapat melampuai efektivitas, menggapai keagungan dalam hidup.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Bangun Dioro, pemilik Bangun Karso Farm di daerah Cijeruk, Bogor. Ia adalah seorang anggota TNI berpangkat Sersan yang mampu memanfaatkan waktu senggangnya untuk mengembangkan peternakan kambing dan domba di kawasan seluas lebih dari 10 hektar dengan memberdayakan masyarakat sekitar.

Di masa kecilnya ia adalah pemelihara kambing di kampung halamannya di Jawa Tengah.  Semenjak tinggal di Bogor dan menjadi anggota TNI, kemampuan beternak kambing ia asah dengan melakukan magang di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi. Setelah mulai mempraktekkan ilmunya, usaha peternakan kambing jauh lebih bagus dibanding waktu ia memelihara kambing di kampungnya. Ia makin paham bedanya kebutuhan nutrisi kambing perah, kambing pedaging dan domba, sehingga ia dapat menyediakan pakan yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk menyediakan kambing sebagai hewan kurban, ia tahu kapan harus memulai memelihara kambing bakalan. Ia juga paham fermentasi pakan, hijauan mana yang mengandung sianida, juga soal biosecurity serta bermacam penyakit yang mengancam kambing beserta solusinya.

Singkat cerita, peternakan kambingnya semakin berkembang hingga ribuan ekor dan mampu memasok kambing ke lembaga amil zakat, panitia hewan kurban maupun ke masyarakat umum. Ia dijuluki sebagai sersan kambing dan sersan berpenghasilan jenderal, akibat kemajuan usahanya yang luar biasa.

Berbagai penghargaan ia terima baik yang tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat nasional. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi banyak yang melakukan penelitian dan praktek kerja lapangan di lokasi peternakannya. Peternak dari berbagai penjuru tanah air banyak juga yang berguru kepadanya. Bahkan Presiden SBY pun menyempatkan menyambangi lokasi usahanya setelah mendengar popularitas Bangun Dioro sebagai  anggota TNI yang mampu mengembangkan usaha peternakan kambing. Salah satu penghargaan penting adalah Indo Livestock Award tahun 2016 kategori Budidaya dan Inovasi Produk.

Di kawasan Bangun Karso Farm berbagai tanaman ia kembangkan untuk kambing dan domba. Ia menaman indigofera, tanaman asal Afrika, untuk kambing perah. Tanaman “Katuk” yang sangat populer di kalangan ibu-ibu yang tengah menyusui, juga ia tanam untuk makanan kambing perah agar air susu kambingnya lebih produktif. Jenis kambing yang ia pelihara juga aneka ragam, ada domba merino, domba garut, domba persilangan, kambing boer, kambing PE dan sebagainya. Ia sangat lihai menjelaskan plus minus memelihara berbagai jenis kambing dan domba. 

Dengan pemeliharaannya yang menerapkan ilmu terkini, kambing perah yang ia pelihara mampu berproduksi 7 liter sehari. Ia juga memelihara kambing dengan pakan ramuan khusus dari China sehingga menghasilkan daging kambing rendah kolesterol. 

Bangun mengakui, apapun yang ia pikirkan adalah untuk kambing. “Saya mudah sekali mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk membuat kandang kambing, sedangkan untuk rumah sendiri sangat hitung-hitungan hehehe”, akunya. Begitupun dalam hal kendaraan. Ia memilih membeli mobil bak terbuka agar kemana-mana jika ketemu limbah pertanian yang bisa untuk makanan kambing bisa langsung dibeli dan diangkut.

Hampir segala urusan dikaitkan dengan kambing. Di kesatuannya juga membantu rekan-rekan dari memelihara kambing. Pun kepada masyarakat sekitar, ia membantu warga berupa kambing. Hidupnya demikian menyatu dengan kambing. 

“Saya sendiri heran, kalau ada tugas keluar kota, saya telepon ke rumah yang pertama kali ditanyakan ke istri saya adalah gimana kambingnya, bukan menanyakan kabar keluarga, sampai istri saya protes,” tambahnya setengah bercanda,  seraya menambahkan untuk yang satu ini sekarang sudah mulai berlatih menanyakan kabar anak istri.

Bangun Dioro mungkin belum membaca buku The 8th Habits karya Stephen R Covey. Tapi ia sudah melakukan apa yang disampaikan Covey di buku The 8th Habit. Bangun sudah menemukan panggilan jiwanya yaitu  hidup di dunia dengan peran utama dalam pengembangan peternakan kambing.

Covey menuturkan, siapapun boleh saja sukses sampai ke ujung langit, namun jika ia tidak memenuhi panggilan jiwanya, maka dia bukan siapa-siapa. Bangun sudah menjadi “siapa” dengan mengembangkan peternakan kambing dengan berbagai inovasinya. ***

Artikel ini diadopsi dari artikel Refleksi di Majalah Infovet dan Buku "Jangan Pulang Sebelum Menang" karya Bambang Suharno, pengurus YAPPI 

OMNIBUS LAW PETERNAKAN (Oleh Prof. Muladno)

 

Untuk mendorong kegiatan ekonomi dan investasi di bidang peternakan, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyiapkan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU-CK). Draft RUU-CK ini beredar melalui media sosial dan menimbulkan pro-kontra bagi komunitas peternakan. Sebenarnya niat pemerintah yang terkandung dalam RUU-CK adalah sangat bagus sebagaimana dinyatakan dalam diktum pembukaan RUU tersebut. 

Namun demikian, berdasarkan definisi Cipta Kerja yang dinyatakan pada Pasal 1 Butir 1 “upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional”, implementasinya masih belum jelas. Substansi bidang peternakan di RUU tersebut relatif sama dengan yang terdapat dalam UU No. 18 tahun 2009 jo UU No. 41 tahun 2014.

Dengan adanya penyebutan Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategis Nasional, upaya penciptaan kerja ini tampaknya didasarkan pada proyek semata. Padahal berbagai proyek yang dijalankan pemerintah pusat dalam pengembangan peternakan selama ini, jika tidak mau dikatakan gagal total, seringkali lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Klausul pasal pasal dalam RUU-CK bagi perusahaan besar mungkin sangat mudah dipahami dan gampang implementasinya, misalnya tentang impor dan ekspor produk hewan maupun ternak hidup. Dalam konteks impor, cenderung dipermudah dalam persyaratannya. Namun demikian, upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha peternakan rakyat di dalam negeri tidak jelas upaya yang akan dilakukan pemerintah.

Produktivitas peternak rakyat harus ditingkatkan

Peternakan sapi rakyat di Belu NTT (dok Yappi)

Selama ini diskusi tentang peternakan rakyat untuk semua komoditas ternak masih berkutat kepada populasi saja. Populasi berlebih maupun kekurangan populasi. Ternak sapi pedaging merupakan komoditas ternak yang populasinya bersifat “kekurangan” sedangkan ayam ras pedaging adalah komoditas ternak yang bersifat “kelebihan”. Dua-duanya ternyata memiliki produktivitas rendah dalam konteks bisnis. Ini yang harusnya menjadi perhatian penting dalam RUU-CK.

Pemerintah yang powerfull ini hanya punya jurus “membunuh ternak yang berlebih jumlahnya” dan “mengimpor ternak yang kekurangan jumlahnya”.  Jutaan telur siap tetas dihancurkan setiap minggu. Untuk ternak sapi, tahun ini dicanangkan oleh Pemerintah Pusat untuk mengimpor 1.5 juta sapi indukan. Jika dalam RUU-CK ini masih berorientasi populasi dan satu-satunya cara untuk menambah populasi harus dengan impor ternak indukan, itu namanya bukan Cipta Kerja tetapi Cipta Dagang. 

Oleh karena itu, jika pemerintah menerapkan RUU-CK, maka penambahan populasi ternak harus berasal dari pembiakan ternak lokal yang ada di Indonesia bukan mengimpor indukan sapi dari luar negeri dalam jumlah besar. Apalagi jika pengadaan ternak indukan itu dilakukan oleh pemerintah kemudian dibagi-bagikan ke peternak rakyat, data empiris menunjukkan kegagalan dan kegagalan lagi. Dengan kata lain, tingkatkan produktivitas ternak yang ada di Indonesia denga meningkatkan produktivitas peternaknya.

Substansi dalam RUU-CK harus berorientasi pada peningkatan produktivitas peternak rakyat karena mereka yang mau dan mampu melakukan pembiakan ternak sapi. Beberapa substansi yang harus ada dalam RUU-CK adalah:

1. Semua usaha peternakan harus berbentuk perusahaan dan tidak ada lagi usaha peternak invididu. Peternak individu berskala kecil harus berhimpun untuk menjadi perusahaan kolektif. Dengan demikian hanya ada dua macam perusahaan peternakan yaitu perusahaan perorangan dan perusahaan kolektif (missal koperasi)

2. Untuk perusahaan perorangan, Pemerintah hanya memfasilitasi dalam bentuk regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya. Untuk perusahaan kolektif, selain regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya, pemerintah juga menyediakan fasilitas umum bagi peternak yang tergabung dalam perusahaan kolektif. 

3. Perusahaan kolektif merupakan hasil konsolidasi peternak individu dengan ditentukan jumlah minimal kepemilikan ternak per perusahaan dan ditentukan cakupan wilayah perusahaannya, misalnya satu kecamatan dengan jumlah minimal ternak sapi indukan 1000 sd 5000 ekor 

4. Perguruan tinggi secara institutional bersama dengan pemerintah melakukan pendampingan kepada perusahaan kolektif secara terus menerus. Dana pendampingan harus berasal dari Kementerian yang membawahi perguruan tinggi bukan dari Kementerian yang membawahi urusan peternakan

5. Impor produktif harus ditingkatkan sedangkan impor konsumtif harus dikurangi. Misalnya, impor sapi bakalan hidup harus ditingkatkan karena dapat menggerakan kegiatan ekonomi dengan multiefek yang besar. Impor daging beku harus ditingkatkan juga apabila daging tersebut digunakan sebagai bahan industri pembuatan bahan pangan olahan bukan untuk dikonsumsi.

6. Pemerintah hanya boleh bertindak sebagai regulator dan fasilitator saja dan tidak boleh bertindak sebagai aktor dalam kegiatan ekonomi di bidang peternakan karena pada dasarnya masyarakat telah mampu melakukannya

7. Yang diatur dalam RUU-CK ini adalah perusahaan peternakannya bukan ternaknya sehingga pengaturan dalam RUU-CK tidak bersifat teknis semata tetapi harus bersifat bisnis-strategis

8. Lahan marginal perkebunan atau kehutanan atau sejenisnya harus dipermudah untuk digunakan sebagai lahan penggembalaan ternak

9. Perbankan untuk perusahaan kolektif dengan bunga bersubsidi atau melalui pola syariah dipermudah persyaratannya

10. Lembaga keuangan non-bank untuk CSR atau PKBL harus dipacu untuk menggelontorkan dana bagi perusahaan kolektif

11. Fasilitas publik seperti sumur air atau embung harus disediakan oleh pemerintah di peternak rakyat yang telah terkondolidasi dengan baik

12. Industri olahan yang menghasilkan limbah yang bermanfaat bagi pakan ternak harus disisihkan untuk kebutuhan perusahaan kolektif

13. Kewenangan pemerintah pusat yang terlalu besar harus dikurangi menjadi lebih proporsional. Perkuat kewenangan bupati/walikota dalam menata industri peternakan. Terbitkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Peternakan agar bupati/walikota memiliki pegangan hukum untuk mengatur dengan baik, bear, dan adil.

14. Dan masih banyak lagi perihal sepele tetapi memberi dampak besar bagi peningkatan produktivitas peternak yang mengakibatkan peningkatan produktivitas ternaknya.

Penekanan pada penguatan sumberdaya peternak

RUU-CK ingin dapat diimplementasikan secara sukses, maka yang bisa menjalankan adalah peternak rakyat karena jumlah peternak memang sangat banyak. Jika 10 juta peternak rakyat dirancang dan diupayakan untuk memiliki 3 sapi ekor indukan per peternak melalui strategi sinergi dan kolaborasi antar pihak, ada 30 juta ternak indukan sebagai pabrik yang menghasilkan bakalan setiap tahun. Pelan tapi pasti populasi sapi akan meningkat dan kebutuhan dalam negeri kan tercukupi. 

Yang penting, sapi indukan tersebut mayoritas berasal dari hasil pembiakan sapi indukan yang sudah ada di Indonesia. Kalaupun ada sapi indukan impor, pengadaannya bukan karena proyek pemerintah tetapi benar-benar bisnis, sebagaimana ketentuan pemerintah yang mewajibkan 5% dari kuota impor sapi bakalan harus berupa sapi indukan.

Peternak rakyat akan sanggup membangun perusahaan kolektif di bidang pembiakan ternak sepanjang dibimbing, diarahkan, didampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan jika ada niat untuk membuat RUU-CK berjalan. Tapi jika pendekatan yang digunakan hanya berdasarkan proyek strategis nasional untuk pengadaan sapi, sekali lagi, itu namanya bukan RUU-CK tetapi RUU-CD (Cipta Dagang).

Peran peternak rakyat yang mencintai pekerjaannya sebagai penggembala ternak harus dimaksimalkan. Mereka perlu ditingkatkan kemampuan teknisnya, penguatan wawasan bisnisnya dan diubah pola pikirnya untuk mau bersatu padu membentuk perusahaan kolektif.  Pemerintah juga harus tegas bahwa hanya perusahaan kolektif saja yang mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah. Perusahaan kolektif ini tentu saja yang professional bukan sekedar kelompok jadi-jadian.

Sinergi dan Kolaborasi Antar Instansi 

RUU-CK untuk bidang peternakan bukan tanggung jawab Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) tetapi lintas kementerian. Pernyataan sinergi antar lembaga sangat mudah diucapkan tetapi sulit implementasinya. Namun demikian, sinergi tersebut bisa dilaksanakan jika dikomando dari atas. Presiden harus memaksa lembaga di bawahnya bersinergi secara institusional mulai dari pencanaan anggaran sampai ekskusinya dan pembagian kewenangannya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus jelas. Dalam hal ini, peran pemerintah kabupaten/kota harus lebih diutamakan karena pada dasarnya pemimpin rakyat secara langsung adalah Bupati/Walikota.

Uraian di atas bukan wacana belaka tetapi telah diujicobakan dan memberi hasil yang menggembirakan. Melalui program Sekolah Peternakan Rakyat yang dijalankan sejak awal 2013, ternyata komunitas peternak rakyat mampu berlari kencang dalam bisnis kolektifnya. Mereka tidak butuh bantuan sapi kepada pemerintah tapi mereka bersedia berbisnis melalui kemitraan, baik dengan bank maupun lembaga keuangan non-bank. 

Sama juga dengan komoditas ternak ayam ras pedaging. Tidak ada dana triliunan rupiah digelontorkan untuk pembangunan industri perunggasan tapi justru melimpah dan oversupply. Jika industri peternakan sapi tidak diintervensi oleh banyaknya kebijakan pemerintah melalui “proyek”, jangan-jangan populasi sapi juga akan melimpah ruah. Omnibus law menjadi penting dan bisa mengubah industri peternakan jika substansi dalam RUU-CK benar-benar mengedepankan peran pelaku usaha. Bukan mengedepankan peran pemerintah.***

Penulis adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dewan Pembina YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)

 








YAYASAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN INDONESIA (YAPPI)



Tahun 2002- TIM PENILAI

Indo Livestock Expo & Forum pertama kali digelar di Indonesia. Dalam Opening Ceremony diadakan acara pemberian penghargaan Indo Livestock Award oleh sebuah tim penilai.

Tahun 2008 - KPUPI


Komunitas Pengembang Usaha Peternakan Indonesia (KPUPI)
mulai bekerjasama dengan PT Napindo Media Ashatama dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam penganugerahan Indo Livestock Award untuk pelaku usaha, lembaga pemerintah dan tokoh perorangan yang berperan besar dalam pengembangan peternakan di Indonesia.

11 September 2015 - YAPPI


Pengurus YAPPI

KPUPI secara resmi berubah status kelembagaan menjadi Yayasan dengam nama Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

YAPPI terus mengembangkan perannya sebagai lembaga independen yang memiliki kapasitas dan profesionalisme di bidang penilaian/penjurian di bidang peternakan

Perubahan KPUPI menjadi YAPPI merupakan bentuk komitmen untuk berkarya lebih profesional.

Salah satu langkahnya adalah seluruh personal YAPPI telah tersertifikasi sebagai auditor ISO 9001




Komitmen YAPPI

  1. Menjunjung tinggi   profesionalitas, Idealitas dan Sinergitas dalam bertindakIndependen dan obyektif dalam bersikap
  2. Peduli terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas usaha peternakan di Indonesia
  3. Antisipatif terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan teknologi peternakan dan Kesehatan hewan

Di Kab Belu NTT, 2011

Kegiatan YAPPI

  1. Dewan Juri Indo Livestock Award setiap tahun
  2. Dewan juri kegiatan lainnya 
  3. Seminar /webinar Award Winner Experience
  4. Training ISO 9001 dan sejenisnya
  5. Seminar agribisnis 
  6. Konsultan peternakan & kesehatan hewan
Hubungi : 
email : teamyappi@gmail.com


Verifikasi di Prov Jateng 2019



BPTU Padang Mangatas 2014

Slamet Quail Farm Sukabumi, 2014

Verifikasi Biosekuriti di Demak 2018

PROFIL PENERIMA INDO LIVESTOCK AWARD ; SLAMET WURYADI MEMPOPULERKAN WIRAUSAHA PUYUH


 Berbisnis puyuh sangat menggiurkan karena peluangnya masih besar. Karenanya, pemilik Slamet Quail Farm (SQF), Slamet Wuryadi terus menularkan virus bisnis burung puyuh ini ke seantero negeri.

"Puyuh ini endemik Indonesia dan dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa, populasi puyuh di Indonesia baru ada sekitar 7 juta ekor dengan produksi harian sebanyak 4 juta butir telur puyuh. Belum signifikan dengan pemenuhan kebutuhan," bebernya.

"Penularan virus" bisnis burung puyuh ini dilakukan Slamet secara bottom up yaitu langsung kepada peternak yang ingin ikut merasakan peluang besar dari puyuh ini, sehingga mampu menjadi petani yang mandiri.

Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Sub 1 Cikembar yang didirikan bersama kawan-kawan peternak puyuh di tahun 2010, menjadi motor penggerak Slamet untuk terus menularkan semangat berbisnis burung puyuh ke daerah lainnya.

Diakui oleh Slamet keuntungan per butir telur puyuh memang hanya Rp 100 saja, tetapi produksi telur per hari mencapai 26 ribu telur bisa mencapai Rp 26 juta untuk 16 peternak puyuh yang ada di sekitar Cikembar, Kabupaten Sukabumi.

Usaha penularan virus bisnis burung puyuh tersebut kini sudah mencapai 1.300 peternak di seluruh Indonesia. "Awal mula saya berbisnis karena saya lihat peluang dari bisnis puyuh ini, tidak ada pemain besarnya. Kunci bisnis dari agribisnis adalah market dulu baru berbudidaya. Jangan Dibalik!. Bakal Gatot (Gagal Total) !," tukasnya.

 Slamet mengakui dirinya pernah ditawari gaji sampai Rp 400 juta ketika diundang menjadi narasumber di Malaysia untuk bisa mengembangkan bisnis burung puyuh di Negeri Jiran tersebut. "Darahku masih Merah Putih, Tulangku masih NKRI. Karenanya, saya tolak mentah-mentah ajakan tersebut. Saya justru ingin Puyuh menjadi unggas keunggulan asli Indonesia, diproduksi oleh UMKM Indonesia dan dikonsumi oleh masyarakat Indonesia," tegasnya.

Slamet (tengah) dengan Bambang S
(kiri) dan Setya Winarno dari Yappi

Kini untuk menyebarluaskan ilmu puyuh yang dimiliki, Slamet mengembangkan pojok wirausaha dimana mahasiswa dari berbagai wilayah Indonesia, banyak yang magang di tempatnya. Tak terkecuali santri tani millenial yang diakomodir oleh Kementerian Pertanian.

 "Kita siap membantu dengan modal berapapun untuk memulai usaha ternak puyuh. Kami akan beri masukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Bahkan jika pemasarannya belum ada, PT SQF siap menampung produksi dari kawan-kawan," tuturnya.

Cinta Puyuh

 Jalan Slamet mencintai puyuh, tak terlepas dari pengalamannya sendiri sejak menempuh kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Awal kariernya juga menghantarkan Slamet bekerja di korporasi peternakan, Sierad. Titik luncur dirinya menguasai ilmu dan praktik budidaya puyuh juga didapatkan Slamet saat menjadi Manajer PT Golden Quail Farm, sebuah peternakan puyuh terbesar di Asia.

 "Kalau saya sendiri berbisnis puyuh dari 2002 dengan investasi awal hanya 600 ekor puyuh. Dan berkembang terus hingga sekarang menjadi 26 ribu ekor yang tersebar di peternak sekitar," beber Slamet.

 Dirinya memang memulai bisnis puyuh dari nol dan menjadi kelebihan bisnis puyuh karena bisa dimulai dari modal yang sangat kecil sehingga praktis dicoba oleh siapapun.

 Ternak puyuh Slamet pun berkembang pesat karena beternak puyuh memang mudah dan kemampuannya untuk terus mengkaji dan meneliti segala hal yang berkaitan dengan beternak burung puyuh agar efisien. Salah satu penelitiannya adalah pemuliaan mutu genetik yang dibudidayakannya.

 Dari berusaha sendiri, Slamet kemudian menularkan virus bisnis puyuhnya kepada tetangga sekitarnya dan membentuk kelompok tani dan membentuk unit bisnis PT Slamet Quail Farm (SQF). Dirinya kemudian merumuskan SOP untuk memelihara puyuh agar lebih efisien.

 "Beternak puyuh itu, rakyat banget. Siapa saja bisa beternak puyuh. Tidak harus pengusaha besar. Puyuh juga menjadi mutiara terpendam, bahkan tidak pernah muncul di berbagai pameran besar industri peternakan," bebernya. Padahal, diantara usaha peternakan lainnya. BEP usaha puyuh termasuk paling cepat yaitu kurang dari dua tahun.

 Usaha ternak puyuhnya kini tidak hanya menyentuh peternak puyuh di kandang saja tetapi juga kaum perempuan di Sukabumi, khususnya perempuan single parent. Melalui kelompok yang dibentuk Slamet, kaum perempuan dilatih mengembangkan berbagai olahan berbasis puyuh. Mulai dari bakso puyuh, telur puyuh asin, abon puyuh, hingga steak puyuh. Bahkan dalam lomba se-Provinsi Jawa Barat, Bakso Puyuh dari PT SQF berhasil menyabet juara pertama.

 Eksistensi Slamet kemudian berbuah penghargaan Pelopor Ketahanan Pangan (2013), Indo Livestock Award kategori Nastiti  Budidaya Satwa (2014) hingga Adhikarya Pangan Nusantara (2015). Untuk masa depan, dirinya ingin agar Indonesia mampu mencintai puyuh dengan mengkonsumsi aneka produk puyuh, serta membudidayakannya.

Artikel ini bersumber dari tabloidsinartani.com dengan beberapa penyesuaian

 

STRATEGI CORONIAL

Prof. Muladno
Babak belurnya ekonomi di seluruh dunia gara-gara corona virus disease (covid19) sudah menjadi berita sehari-hari.  Namun demikian virus itu sebenarnya juga memberikan beberapa keuntungan diantaranya (i) membuat manusia berpola hidup bersih dan sehat (ii) beraktivitas dengan penuh kehati-hatian, (iii) meningkatkan rasa empati kepada sesama, (iv) produktif dan efisien beraktivitas secara on line, dan (v) dapat menjadikan corona sebagai kambing hitam bagi capaian kinerja kita yang tidak maksimal.

 Saat ini, selagi covid19 menjadi kambing hitam dari banyak persoalan sosial ekonomi dan bisa jadi merembet ke politik, kita perlu manfaatkan untuk membuat strategi baru dalam membangun peternakan di Indonesia. Jangan dibahas terus tetapi segera laksanakan saja. Sudah bertahun-tahun, solusi yang digunakan dalam mengatasi permasalahan kronis peternakan adalah bersifat parsial dan terkesan dikerjakan secara buru-buru. Akibatnya permasalahan masih terus ada hingga kini.

 Ada dua strategi yang diuraikan di sini, yaitu strategi membangun peternakan berskala industri (diwakili komoditas ayam ras pedaging) dan strategi membangun peternakan berskala kerakyatan (diwakili komoditas sapi pedaging). Untuk skala industri, strateginya saya buat akronim SINERGI sebagai berikut. 

Sasaran utamanya adalah terwujudnya usaha yang efisiensi, efektif, dan produktif dalam rangka meningkatkan daya saing produk peternakan di pasar global. Integrasi vertikal yang telah dijalankan perusahaan raksasa multi-usaha harus dipertahankan dan ditingkatkan lagi efisiensinya. Bagi perusahaan mono-usaha, integrasi horizontal mutlak dilakukan. Era sekarang tidak mungkin lagi perusahaan mono-usaha melakukan sendiri, tetapi harus berkolaborasi. Integrasi horizontal memiliki makna kolaborasi antar pemangku kepentingan secara tersistem dan terukur, baik dengan instansi pemerintah, instansi perguruan tinggi, instansi perusahaan, dan komunitas peternak.

 Nurani dalam menjalankan bisnis di Indonesia yang berlandaskan pancasila ini harus diutamakan. Sifat tepo seliro kepada yang lain, ojo dumeh, dan semangat saling membantu merupakan karakter yang sangat penting dalam melanggengkan usaha peternakan berskala industri di Indonesia. Empati kepada siapapun tentu dapat menimbulkan semangat kekeluargaan dalam satu bangsa untuk bersama-sama membangun masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Regulasi pemerintah harus jelas dan terdistribusi secara tepat. NKRI ini negara besar yang tidak mungkin semua permasalahan ditangani pemerintah pusat saja. Tiga puluh empat pemerintah provinsi dan 450 pemerintah kabupaten/kota harus diperankan secara lebih nyata dan efektif untuk membuat suasana kondusif dalam industri peternakan di seluruh Indonesia

 Dalam rangka efisiensi dan produktif juga, Galakkan impor produktif dan galakkan juga ekspor konsumtif. Ada pandangan salah kaprah selama ini, bahwa impor itu adalah jelek sedangkan ekspor adalah baik. Padahal, dua-duanya baik tergantung niatnya. Impor barang yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas nasional, harus dilakukan. Misalnya impor jagung pakan unggas merupakan contoh impor produktif karena digunakan untuk membuat pakan kebutuhan ayam. Impor chicken leg quarter (CLQ) adalah contoh impor konsumtif dan ini harus dihindari. Demikian juga untuk ekspor. Dikatakan ekspor jelek jika barang yang diekspor merupakan bahan mentah karena kita tidak memperoleh nilai tambah.

 Terakhir, Insentif bagi pelaku usaha yang berprestasi. Untuk hal ini, memang perlu selalu ada evaluasi kinerja perusahaan secara objektif dan terukur. Pemerintah dapat bekerjasama dengan akademisi dan asosiasi untuk penyelenggaraan evaluasi ini. Dimulai di era coronial ini, semua pihak harus bersih, transparan, dan kolaboratif dalam menjalankan bisnis peternakan.

 Adapun strategi coronial untuk membangun peternakan berskala kerakyatan, saya membuat akronim KOMPAK

Konsolidasikan peternak rakyat supaya menjadi makin eksis melalui pendidikan dan pemberdayaan. Ini adalah peternak yang betul-betul peternak. Bukan peternak yang baru lahir karena adanya proyek. 

Organisir peternak yang terkonsolidasi agar mau membentuk perusahaan kolektif berjamaah atau koperasi. Pembentukan koperasi ini harus bernuansa bottom-up dalam upaya membuat komunitas peternak faham betul makna berkoperasi. Mendidik dan memberdayakan adalah kunci utama untuk suksesnya mengonsolidasikan dan mengorganisir komunitas peternak rakyat. 

Partnership (mitra setara) harus dijadikan landasan dalam kerjasama bisnis dengan siapapun. Tidak ada superior-inferior dalam bekerjasama tetapi lebih bernuansa saling membutuhkan. 

Anggaran pemerintah seharusnya digunakan untuk memfasilitasi semua komunitas peternak yang telah terkonsolidasi dan terorganisir dalam rangka mempercepat terbentuknya usaha kolektif berjamaah yang lebih profesional. 

Kolaborasi empat pihak yang terdiri atas Academician, Businesman, Government, dan Community (komunitas peternak rakyat) secara institusional harus diwujudkan secara legal formal yang di back-up dengan regulasi yang kuat kedudukannya, misalnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Mari bersama corona mencari berkah!!***

Penulis adalah Guru Besar Fapet IPB , Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pengurus YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)

Artikel ini telah dimuat di Majalah Trobos edisi Juli 2020

REGENERASI TECHNICAL SERVICE INDUSTRI PETERNAKAN

 Oleh : Drh Dedy Kusmanagandi MM


Di bidang agribisnis peternakan, Technical Service (TS) adalah salah satu jabatan yang memiliki tugas pelayanan teknis yang berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan. Namun secara  operasionalnya di lapangan ternyata cakupan tugasnya cukup bervariasi, tergantung kepada jenis perusahaan dan manajemen perusahaannya. Bertanggung jawab ke Departemen Layanan Teknis ( Technical Servise Departement ) seorang TS bertugas mendampingi bagian pemasaran untuk mengoptimalkan pelayanan perusahaan. Namun demikian kenyataan di lapangan penetapan strategi dan penentuan ‘gugus tugas’ (Job Dis) lebih sering dibawah koordinasi langsung Manajer Pemasaran. Oleh karena itu wajar saja bila terkadang sulit membedakan antara TS dan Salesman. Dibeberapa perusahaan bahkan fungsinya bertindak sebagai ‘General Salesman’ - yaitu melakukan promosi, penjualan, pengiriman barang, penagihan, serta melakukan pelayanan teknis sekaligus. 


TS generasi pertama, antara tahun 1980 – 1990 di perusahaan  obat hewan, memiliki variasi nama yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, diantaranya : Veterinary Technical Sales Representative (VTSR), Veterinary Technical Service (VTS),Veterinary Advisor (Vet Ad), Veterinary Representative (Vetrep),  Marketing Representative (MR), Sales Promotor (SP), Sales Executive (SE), serta nama-nama lain yang sangat variatif tetapi tugasnya sama, yaitu bertanggung jawab terhadap tercapainya target penjualan. Trend merekrut Dokter Hewan sebagai TS dimulai sekitar tahun 1980 mengikuti keharusan penggunaan resep dokter hewan pada  penjualan obat keras yang merupakan komponen utama pemasukan perusahaan. Namun pada periode berikutnya Sarjana Peternakan pun banyak yang menjabat TS setelah perusahaan makanan ternak dan pembibit melakukan ekspansi pemasaran.

TS generasi pertama kini telah banyak yang menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar, bahkan menjadi pemilik perusahaan kelas menengah. Sebagian lagi, ‘Alumni TS’ banyak yang sudah beralih profesi ke berbagai bidang yang masih terkait dengan bidang kesehatan hewan atau produksi peternakan, tetapi tidak sedikit yang kini bergerak di bidang usaha yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang perunggasan seperti bengkel mobil, furniture, bidang pendidikan, elektronik dan komputer,  perdagangan umum, asusransi, serta pelayanan jasa lainnya. Satu hal yang sangat menarik adalah, bagi orang-orang tertentu, kecintaan yang sangat dalam terhadap profesi TS ini sungguh luar biasa. Mengunjungi peternakan yang akrab dengan alam pedesaan, pegunungan, bukit-bukit hijau, adalah momen yang tidak dapat tergantikan. Apalagi bila kita dapat membantu orang yang sedang kesulitan karena ternaknya terserang wabah penyakit. Senyum kebahagiaan peternak jauh lebih bernilai dibandingkan  bonus penjualan akhir tahun. 

Kesetiaan orang-orang yang menjalankan tugas TS selama lebih dari  20 tahun bukan suatu hal yang biasa-biasa saja. Apalagi bila dia menolak ketika dipromosikan ke posisi jabatan yang lebih tinggi, karena begitu cintanya dia dengan tugas lapangan.  Terkadang hal ini membuat pimpinan perusahaan tidak bisa mengerti.. Beberapa orang luar biasa ini bahkan menjalani tugas sebagai TS  tetap dalam satu perusahaan, sejak dia lulus kuliah hingga saat pensiun tiba, tanpa terlintas untuk berpaling ke perusahaan lain. Berbahagialah orang-orang yang dapat melampaui rentangan waktu yang demikian panjang, dalam satu profesi yang bagi sebagian orang merupakan tugas dengan tingkat ‘stress’ yang cukup tinggi.

Penetapan anggaran, pembagian area, supervisi, sampai kepada evaluasi dan audit pemasaran adalah stress pertama yang harus dihadapi TS dalam melaksanakan tugasnya. Harga produk yang tidak kompetitif, promosi yang terbatas, biaya operasional yang super hemat, manajemen yang tidak ramah adalah stress internal yang sering datang secara latent – bisa datang kapan saja.  Stress berikutnya datang dari lingkungan eksternal  perusahaan, dimana persaingan bisnis obat hewan berjalan  sangat kompetitif,. Terbatasnya jumlah pelanggan, jarak dan lokasi peternakan yang sangat jauh dan sulit dijangkau, fasilitas tidak memadai, tuntutan stamina fisik yang prima, serta semakin banyaknya perusahaan obat hewan pesaing, baik lokal atau impor yang  bermunculan, sungguh merupakan suatu tantangan yang tidak ringan untuk dilalui.

Tidak banyak perusahaan yang secara bijak melakukan studi pendahuluan terhadap kelayakan penempatan seorang TS di suatu daerah. Yang sering terjadi adalah pengambilan keputusan linier, yakni bila populasi ternak padat, maka seorang TS harus ditempatkan berapapun biayanya, apapun resikonya, yang penting nama perusahaan berkibar, tetapi bila tidak ada kontribusi yang memadai maka TS harus dipecat, minimal harus dimutasi bila target omzet penjualan tidak terpenuhi. Yang lebih lucu lagi bila pimpinan perusahaan penuh gengsi. Bila mendengar perusahaan competitor menempatkan seorang TS, maka perusahaannya pun harus menempatkan TS, kalau bisa lebih banyak jumlahnya.

Studi kelayakan penempatan seorang TS yang asal jadi adalah desain stress yang struktural. Memang benar,  stress yang terukur dan  terkendali sangatlah membantu produktivitas.  Tetapi harus ada ‘shockbreaker’ yang cukup, karena ketahanan seseorang terhadap stress berbeda-beda. Banyak TS yang langsung diare begitu mendapat peringatan lisan pertama.  Tetapi ada juga yang ‘mental badak’ -, tetap bebal meskipun sudah mendapat surat peringatan terakhir dan hanya terpecut ketika dia diremehkan oleh calon mertua atau dilecehkan oleh mantan. 

Pemasaran obat hewan seringkali mengandalkan ‘personal selling’ sebagai ujung tombak pemasaran, sehingga mau tidak mau, menuntut manajemen harus cerdas dalam mengelola gugus pemasarannya. Jurus ampuh untuk menggerakkan  potensi dalam diri seseorang adalah ‘motivasi’.  Orang malas adalah orang yang belum termotivasi. Dan suatu target tidak tercapai adalah karena salah dalam memotivasi.  Banyak manajer merasa telah memotivasi anak buahnya, padahal yang terjadi adalah, dia hanya memindahkan stress yang diterimanya dari atasan dan mendistribusikannya kepada bawahan. Banyak manajer yang sudah menguasai ‘ilmu berkelit’ bila targetnya tidak tercapai. Sebagian bahkan sudah punya ‘bahan presentasi dan‘kompilasi data yang indah’ yang dapat mendukung argumennya bila  suatu saat ‘Bos Besar’ datang dengan wajah penuh ketidakpuasan.

Tentu selalu ada manajer professional yang  siap dengan resiko demi membela bawahannya. Sepanjang dia mampu dia akan pasang badan untuk menjaga marwahnya, apalagi bagi sesama kolega atau kawan se-almamater.   Namun demikian cepat atau lambat, akan tiba saatnya Bos Besar meminta ‘regenerasi’ karyawan, atau merotasi gugus depan yang sudah kurang produktif. Bagaimanapun juga tidak banyak orang yang fisiknya tetap terjaga untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi seorang TS yang profesional. Mungkin saja masih ada Bos Besar yang harus membuat keputusan ‘sadis’  dengan mencari-cari alasan agar seorang TS segera “pensiun dini’ dengan biaya PHK seminimal mungkin.

Regenerasi adalah kata yang lebih bijak dari pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja seharusnya diharamkan oleh perusahaan kecuali bila karyawan yang memintanya. Konsep PHK seharusnya diganti dengan konsep ‘Alternatif Hubungan Kerja’ bagi pekerja lama, dan konsep Regenerasi bagi penggantian karyawan lama oleh pekerja baru.  Tentu tidak mudah menemukan posisi yang tepat bagi orang yang akan diregenerasi, hampir sama sulitnya dengan mencari calon pengganti yang kompeten bagi jabatan TS. Namun regenerasi harus berjalan, karena ini proses alami.  Manajemen harus menemukan desain yang baik, seperti menjadikan karyawan lama sebagai distributor, supplier, tenaga ahli, konsultan, atau posisi lain disertai dengan program ‘Golden Shakehand” bagi yang memang sudah saatnya pensiun.

Pada rentang tahun 2009 - 2019 ini, beberapa orang yang meniti karir mulai dari jenjang TS sudah mulai memasuki masa pensiun.  Seiring dengan hal tersebut, beberapa rekan senior Dokter Hewan dan Sarjana Peternakan, mengabarkan putera-puterinya telah ada yang diwisuda mengikuti jejak orang tuanya dan mulai mengisi formasi lowongan kerja yang tersedia.. Dengan demikian maka regenerasi yang biasanya terjadi melalui jenjang ‘kakak kelas - adik kelas’ kini telah terlewati, dan mulai masuk ke periode ‘Bapak kelas - Anak kelas’  atau jenjang ‘orangtua – anak’.  Pergeseran ini merupakan periode bersejarah karena banyak hal telah berubah.

Regenerasi TS kini telah melahirkan perbedaan yang signifikan dalam komunikasi pemasaran. Era Pemasaran Digital telah menjadi ranah baru pemasaran obat hewan. Adanya Market Place telah membuka peluang kreatif dan efisiensi distribusi. Kemudahan akses global B telah memperbaharui pola hubungan principal, distributor dan pelanggan. Telah banyak Investor yang langsung berinvestasi karena besarnya pasar Indonesia, dan umunya menggaet mantan TS senior sebagai partner, sebagai pembuka akses kepada peternak dari berbagai kalangan.  

Segmen peternak kalangan menengah atas kini dominan sebagai kontributor omzet penjualan, sedangkan segmen menengah bawah terutama Broiler sudah mulai diabaikan, kecuali yang terjaring dalam suatu himpunan massif atau tergabung dalam Kerjasama Manajemen. Meskipun komunikasi tatap muka masih penting, tetapi esensi hal tersebut lebih menjurus kearah ‘entertainment’ ketimbang proses transfer pengetahuan teknis. Banyak peternakan kini sudah memiliki tenaga ahli sendiri dan memiliki akses yang baik terhadap sumber informasi dan teknologi. Implikasinya, TS saat ini dituntut untuk terus ‘meng-update’ pengetahuan dan keterampilannya secara berkelanjutan sehingga bertransformasi menjadi Konsultan Profesional yang mampu menjadi bagian dari solusi. Bagi perusahaan yang memiliki komitmen, hal ini merupakan tantangan bagi manajemen untuk memiliki Departemen R & D, HRD, IT, UX (User Xperience) dan Customer Care yang lebih terintegrasi dengan kompetensi tinggi dan responsif.

Saat ini orang yang mengakses website terhadap suatu produk yang fungsional akan semakin banyak, sehingga website yang dimiliki perusahaan dapat dipertimbangkan untuk bertrabsformasi menjadi sebuah “Aplikasi”.  Namun jika yang mengakses sangat sedikit, maka hal ini juga dapat dibaca sebagai indikasi bahwa mungkin website atau aplikasi perusahaan kurang menarik, terlalu lambat, terlalu biroktaris, atau kebutuhan informasi yang diinginkan tidak terpenuhi oleh website dan aplikasi kita. Memang begitu banyak Web, Blog, Apps atau portal yang bagus untuk menjadi patok duga (benchmark), tetapi bukan berarti kita harus bersaing dengan sesuatu yang bukan domain kita. Yang lebih realistis dilakukan perusahaan untuk membantu TS nya adalah dengan menghimpun semua informasi yang relevan dengan kebutuhan TS, kemudian mentransformasinya dalam format yang aplikatif dan menghasilkan benefit. Penampilan website yang memiliki ‘Link’ dengan pusat informasi yang searah dengan missi perusahaan akan sangat memudahkan dan memperoleh apresiasi yang tinggi dari pelanggan.

. Era TS generasi baru sudah mulai merupakan kebutuhan. Namun bukan hanya   Notebook dengan ‘Mobile Modem’ yang harus melengkapi seorang TS.  Bekal dari manajemen berupa training dengan masa inkubasi yang cukup hendaknya mendasari pola komunikasi dan bekerja sama dalam memperkuat komunitas. Sudah saatnya kita menghadirkan pola persaingan yang bersahabat. Zaman persaingan ‘berdarah-darah’ hanya tinggal di jalur Gaza atau Syria.  Sedangkan di jalur ‘Parung – Gunung Sindur’ , ‘Blitar - Kediri – Pare’, Medan – Pantai Labu, Pangkajene Sidrap atau jalur padat ternak lainnya sudah harus menampilkan peta persaingan yang “Coop-tative” yaitu “Cooperation in Competitive Season” – Kerjasama dalam suasana persaingan yang sehat. Ikhtiar memang harus dilakukan, tetapi jangan sampai mencederai persaudaraan kita sebagai TS yang bermartabat. Semoga regenerasi TS akan menjadikan bidang peternakan menjadi tulang punggung pertumbuhan nasional.  (DKG)  

Penulis adalah Wakil Ketua YAPPI

 

Indo Livestock Expo & Forum 2019 : Tampilkan Penghargaan Pemda Terbaik


Kota Surabaya kembali ditunjuk menjadi tuan rumah penyelanggaraan Indo Livestock 2019 Expo and Forum, 3-5 Juli 2019. Kegiatan yang sudah ke-14 kalinya ini digelar Grand City Convex, berbarengan dengan Indo FeedIndo Diary, Indo Vet dan Indo Fisheries 2019.


PT Napindo Media Ashatama selaku penyelenggara menyebut, event ini merupakan ajang promosi dan alih teknologi bagi industri peternakan, sekaligus sebagai wadah memperkuat kapasitas industri peternakan lokal dengan cara membangun kerjasama dengan industri peternakan asing, serta berbagi informasi terkini mengenai tren dunia peternakan.

Sementara, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I ketut Diarmita, saat pembukaan Indo Livestock 2019, Rabu (3/7/2019), mengatakan, Indo Livestock 2019 merupakan acara besar yang memberi segudang manfaat. “Acara ini memberi peluang besar bagi kemajuan bidang peternakan dan kesehatan hewan,” kata Ketut.


Dirjen PKH saat meninjau salah satu booth peserta. (Foto: Infovet/CR)

Pasalnya dari data pemerintah, pertumbuhan sub sektor peternakan periode 2015-2018 cukup tinggi, yakni pertumbuhan produksi daging (17,6%); susu (8,5%); dan telur (17,5%) , serta ekspor meningkat (44,5%) per tahun. Akumulasi investasi usaha peternakan dalam negeri juga meningkat pada periode yang sama sebesar Rp 541,04 miliar, kemudian akumulasi PDB (Pendapatan Domestik Bruto) pada periode serupa meningkat Rp 18,2 triliun, dengan peningkatan 2017 ke 2018 sebesar 13,3% menjadi Rp 155,15 triliun.


Ketut menambahkan, “Indo Livestock juga memberikan solusi bagi dunia peternakan di Indonesia. Kami sangat apresiasi, semoga lebih kreatif dan inovatif lagi ke depannya untuk menjawab tantangan industri peternakan di Indonesia, serta mampu menarik minat masyarakat pada dunia peternakan.”

Selama tiga hari, kegiatan akbar itu dihadiri Dirjen PKH, Musdhalifah Machmud (Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian), Mayjend (purn) Bambang Budi Waluyo (HKTI), serta diikuti sekitar 250 peserta dari 25 negara dengan 6 paviliun negara, diantaranya Indonesia, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Eropa dan Amerika, dengan pengunjung mencapai 12.000 orang.

Acara semakin semarak dengan hadirnya booth khusus produk-produk ekspor, paviliun UMKM, KUR (Kredit Usaha Rakyat), seminar asosiasi, maupun seminar teknis dari perusahaan, sosialisasi SDTI (susu, daging, telur dan ikan) dan lain sebagainya yang menambah informasi dan edukasi bagi pengunjung.


Foto bersama asosiasi peternakan yang turut mendukung Indo Livestock. (Foto: Infovet/CR)

Jateng Terima Indo Livestock Services Award wilayah A


Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indo Livestock 2019 juga memberikan penghargaan Indo Livestock Services Award bertajuk “Adi Praja Satwa Sewaka” . Kali ini, untuk pertama kalinya penghargaan Indolivestock Services Award diberikan kepada Dinas Provinsi (Indo Livestock sebelumnya diberikan kepada Dinas Kabupaten dan UPT/Unit Pelaksana teknis). Penilian dilakukan oleh Dewan Juri independen dan bersertifikat dari Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI) bekerjasama dengan Ditjen Peternakan dan Kesehatan hewan. Tahapan penilaian meliputi penyebaran formulir award ke semua Dinas Provinsi, pengisian formulir, desk review, verifikasi lapangan dan penetapan pemenang.

Mengingat luas dan ragamnya wilayah Indonesia, wilayah penilian dibagi 3 kategori yaitu wilayah A, B dan C, berdasarkan aspek populasi animal unit, perkembangan industri dan aspek terkait lainnya.

Dari hasil penilaian selama  beberapa bulan, Dewan Juri menetapkan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah sebagai pemenang pertama untuk Wilayah A. Berikut data pemenang selengkapnya.

Wilayah A:
Juara 1. Provinsi Jawa Tengah
Juara 2. Provinsi  Jawa Timur
Juara 3. Provinsi  Sumatera Barat

Wilayah B
Juara 1. Provinsi Bali
Juara 2. Provinsi  Sulawesi Selatan
Juara 3. Provinsi  Kalimantan Timur 

Wilayah C
Juara 1. Provinsi Kepulauan Riau
Juara 2. Provinsi  Gorontalo
Juara 3. Provinsi  Sulawesi Barat

Penerima penghargaan Indo Livestock Services Award 2019. (Foto: Infovet/CR)

Perwakilan YAPPI Dedy Kusmanagandi, yang merupakan tim penilai 
Indo Livestock Sevices Award, menyatakan bahwa landasan penilaiaan berdasarkan pada aspek nomenklatur, regulasi bidang peternakan, kemandirian dalam menghasilkan devisa daerah lewat komoditi peternakan, realisasi Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting) dan beberapa aspek lainnya. (RBS/Bams)

Webinar Yappi-Indo Livestock : Belajar Kepada Para Pemenang Indo Livestock Award


Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI) menggandeng  PT Napindo Media Ashatama ,  Gita Organizer serta media-media  peternakan , menyelenggarakan Indo Livestock Virtual Forum Series 1 pada Senin (31/8/2020). Webinar ini mengusung tema “Indo Livestock Award Winner Experiences dan Pandemi COVID-19 Sebagai Momentum Perbaikan Usaha Peternakan di Indonesia”.


Acara dibuka dengan sambutan dari jajaran manajemen PT Napindo Media Ashatama yaitu oleh Agung Wicaksono (Project Director), Devi Ardiatne (Project Manager Indo Livestock, Indo Feed, indo Dairy, Indo Fisheries  ), dan Lisa Rusli (Senior Project Manager Indo Agritech dan Indo Vet).


Agung Wicaksono


Devi Ardiatne


Lisa Rusli

Turut menyambut adalah Dr Desianto Budi Utomo MSc PhD, Ketua Umum YAPPI dan Dr Ir Nasrullah MSc, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI.

Dirjen PKH Dr. Ir. Nasrullah MSc

Dalam opening speech nya Nasrullah diantaranya mengatakan di masa pandemi ini masyarakat lebih memilih makanan yang ready to eat dan ready to cook. Hal itu adalah momentum yang semestinya dibuat langkah strategi bagaimana komoditas peternakan bisa menjawab kebutuhan masyarakat.  Webinar ini dipandu dengan apik oleh Agnes Nilam Sunardi sebagai host, dan Ir Setya Winarno, Pengurus YAPPI, sebagai moderator.

Pembicara pertama Prof Dr Ir Muladno MSA, membawakan tema “Pandemi COVID-19 Sebagai Momentum Perbaikan Usaha Peternakan di Indonesia”. Muladno membahas gambaran peternakan sapi dan unggas sebelum pandemi, dampak pandemi terhadap peternakan, prediksi peternakan Indonesia pascapandemi COVID-19, dan langkah-langkah usaha perbaikan yang perlu dilakukan.

Kedua pembicara selanjutnya adalah pemenang Indo Livestock Award Nastiti Adiguna Satwa Nugraha.

Hidayatur Rahman pemilik PT Jatinom Indah, membawakan tema “Upaya Diversifikasi Usaha Untuk Business Sustainability”. Hidayatur memaparkan diversifikasi usaha diperlukan agar usaha bisa berkelanjutan. Diversifikasi yang dipilih bisa yang sejalan atau berbeda dengan usaha yang sekarang digeluti. Asal benar-benar dipersiapkan SDM yang capable, manajemen yang diatur oleh sistem, membangun pasar, dan tidak kalah pentingnya punya energi untuk mengembangkan usaha.

Pembicara selanjutnya, Slamet Wuryadi dari Slamet Quail Farm membawakan tema “Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan: Peluang Usaha Ternak Puyuh”. Slamet menjelaskan apa dan bagaimana peternak puyuh, serta bagaimana memulai beternak puyuh. Dia juga mengungkap data omset penjualan telur puyuh yang ternyata cukup besar yaitu sekitar 400-500 ribu rupiah per hari untuk tiap peternak.
Menurutnya keunggulan beternak puyuh adalah:
  • Telur puyuh belum pernah dijual di bawah BEP.
  • Demand akan telur puyuh masih lebih tinggi dari supply.
  • Puyuh tidak memerlukan tempat yang luas.
  • Tahan terhadap faktor penyakit.
  • Feses puyuh bisa digunakan untuk biogas, perikanan, dan pertanian.
Drh Dedy Kusmanagandi MBA, Wakil Ketua YAPPI menutup webinar dengan pembahasan tambahan terhadap materi-materi yang disampaikan sebelumnya. (NDV)

Profil

 
Copyright © 2014 YAPPI. Designed by OddThemes