BREAKING NEWS

YAYASAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN INDONESIA (YAPPI) email: teamyappi@gmail.com WA: 0813 1036 9438
Tampilkan postingan dengan label artikel pengurus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel pengurus. Tampilkan semua postingan

INVASI RUSIA KE UKRAINA : INI DAMPAKNYA BAGI KETAHANAN PANGAN KITA

Dr. Ir. Riwantoro, MM
Invasi Rusia yang dilakukan sejak 24 Februari 2022 telah menimbulkan eskalasi pertempuran di Ukraina. Ibukota Kiev dikepung oleh tentara Rusia sehingga pertempuran antara pasukan Ukraina dan militer Rusia tak terhindarkan dan semakin sengit. Sampai kapan perang kedua negara ini akan berakhir, tidak ada yang dapat meramalkannya. Yang jelas, kita dapat menyaksikan perang modern di era industri 4.0.

Tetapi perang tersebut bukan saja perang perebutan pengaruh ideologi, melainkan juga perang ekonomi merebut sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam invasi Rusia sedikit banyak merebut gas bumi dan hasil pertanian lainnya yang penting untuk kehidupan dan kelangsungan hidup umat manusia. Ukraina sebagai bekas daerahnya dulu tentu Rusia sudah paham betul.

Sekilas Pertanian di Ukraina

Ukraina adalah mitra dagang penting di kawasan Eropa Timur. Tanahnya yang cukup subur menghasilkan tanaman biji-bijian terbesar di Eropa sehingga dijuluki "keranjang roti" Eropa. Banyak negara sangat tergantung kepada Ukraina dalam hal gandum dan meslin sebagai bahan pembuatan roti yang menjadi makanan utama. Selain gandum, Ukraina penghasil barley dan jagung untuk pakan ternak. Penghasil kentang dan bit gula serta minyak bunga matahari terbesar di dunia.

Bersama Rusia, Ukraina memasok lebih dari seperempat kebutuhan gandum dunia semenjak 20 tahun terakhir dan 31% gandum dihasilkan di daerah timur negara antara ibu kota Kiev dan di daerah yang diduduki kaum separatis di bawah pengaruh Rusia.

Peternakan sapi dan babi banyak terdapat di seluruh negeri. Sapi perah dipelihara di dekat kota besar Kiev, Donetz dan kota besar lainnya sedangkan sapi potong banyak di lokasi padang stepa dan ladang jerami. Sektor peternakan berjalan sesudah tanaman tetapi dari segi outputnya lebih besar.

Sumberdaya alam Ukraina benar-benar menggiurkan. Menghasilkan banyak mineral logam dan non logam, bahan bakar minyak dan gas.

Sehari sesudah berita operasi invasi Rusia, harga gandum Eropa naik mencapai rekor tertinggi. FAO, Badan Pangan dunia memperingatkan akan adanya gangguan rantai pasok pangan dunia sehingga dapat terjadi kenaikan harga pangan.

Dampak terhadap Situasi Pangan di Indonesia

Hampir semua pangan utama kita sebagian diantaranya berasal dari impor. Sebut saja dari beras, jagung, kedelai, gula, garam, minyak nabati, bawang putih, rempah, daging sapi, daging dan telur ayam ras (bibit), susu dan aneka buah-buahan. Belakangan kita juga impor gandum dan tepung gandum (meslin) yang jumlahnya semakin membumbung.

Impor gandum selama Januari sampai November 2021 menurut data BPS berjumlah 10,75 juta ton yang nilainya mendekati 3,3 juta US Dollar. Berarti hampir Rp. 45 Triliun devisa kita tersedot untuk impor gandum saja. Menurut data tersebut impor gandum terbesar berasal dari Australia berjumlah sekitar 4,5 juta ton (41-43%) dengan nilai 1,37 US Dollar atau Rp. 19,1 Triliun. Ukraina sebagai negara eksportir gandum kedua terbesar setahun telah mengekspor 2,76 juta ton gandum (25,6%) dengan nilai 821 US yang setara Rp. 12,0 Trilliun. Menyusul Argentina sekitar 6% dan Amerika Serikat 5%.

Ukraina juga mengeskpor jagung ke Indonesia. Jagung ini untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dalam jumlah yang relatif tidak banyak. Seperti diketahui Ukraina adalah negara penghasil utama jagung dunia.

Ukraina merupakan negara tergolong pertama selain Mesir yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan negara pertama yang membawa kemerdekaan kita ke forum Sidang Umum PBB di tahun 1948. Sehingga hubungan dagang dengan Indonesia terjalin baik. Selain mengimpor gandum dan jagung, Indonesia terikat impor minyak dan gas bumi. Akibatnya neraca perdagangan selalu defisit untuk Indonesia, paling tidak selama 6 tahun terakhir.

Impor gandum dari Ukraina digunakan sebagai bahan baku terigu untuk pembuatan mie instant dan aneka roti dan kue. Kita dapat membayangkan bagaimana repotnya para pengusaha produsen mie instant dan produsen roti dan kue menghadapi situasi invasi Rusia ke Ukraina. Tetapi pengusaha itu banyak alternatif solusi dan hampir dapat dipastikan sudah mengantisipasi keadaan. Mudah-mudahan tidak berdampak bagi konsumen dengan menaikkan harga produknya. Apalagi saat seperti sekarang yang masih dihadapkan pada kenaikan harga pangan lain, sergapan pandemi dan menghadapi puasa dan lebaran.

Solusi dan Rekomendasi

Bagi pemerintah adanya invasi Rusia ke Ukraina ini sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga. Pelajaran penting pertama adalah ketergantungan yang tinggi akan pangan terhadap satu/beberapa negara sangat rentan dengan masalah negara lain dan sistem perdagangan internasional. Rantai pasok bisa berubah setiap saat dan kemungkinan adanya embargo dengan berkedok isu-isu lingkungan hidup.

Kedua, dalam jangka panjang ketahanan pangan Indonesia harus berubah menjadi sistem pangan yang berbasis keragaman lokal tetapi bersifat inklusif dan berkelanjutan karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyak sumber pangan alternatif untuk karbohidrat, protein, lemak dan sumber mineral yang terserak di berbagai kepulauan di Indonesia yang belum dieksploitasi. Kalau tidak, maka pihak lain yang akan mengeksploitasinya.

Ketiga, secara khusus untuk kasus invasi Rusia, bagi pemerintah dapat menjadi "berkah terselubung". Pemerintah berusaha menurunkan konsumsi beras per kapita digantikan oleh pangan non beras dengan pangan lokal yang serupa. Tetapi yang terjadi di masyarakat ? Substitusinya malah dengan mie instan dan roti. Sehingga program one day no rice digantikan menjadi program breakfast with noodle and oat yang kaya gandum.

Keadaan ini tidak boleh terjadi karena Indonesia bisa melakukan sarapan, makan siang dan makan malam berbasisksn pangan lokal. Pilihannya hanya ada dua, yaitu terus bergantung pada impor pangan atau basis keragaman pangan lokal.

Sesuai dengan Perpres 66 Tahun 2021 BAPANAS mendapatkan amanah untuk menyelenggarakan fungsi salah satunya penganekaragaman konsumsi pangan.

Pilihannya hanya dua, apakah diversifikasi selamanya bergantung pada aneka pangan impor atau berbasis pada keragaman pangan yang kita miliki. Pilihannya diserahkan kepada pemerintah. Mari kita jadikan momentum invasi Rusia sebagai pelajaran berharga.

Info PaGi : Pangan dan Gizi

Jakarta, 1 Maret 2022

Penulis pernah menjawab sebagai Sekretaris Ditjen PKH, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementan, sekarang Penasehat Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

PEREBUTAN SUMBAR DAYA ALAM : PERSAINGAN ANTARA FOOD, FEED, FUEL (3F) SEMAKIN SENGIT

Dr. Ir. Riwantoro, MM

Masih ingat dengan The Club of Rome ? Suatu club yang didirikan pada tahun 1968 oleh para cendekiawan dunia yang berkumpul di Roma yang peduli pada isu-isu umat manusia dan lingkungan. Pada waktu itu dibahas topik tentang kemiskinan dan kelaparan yang melanda planet ini.

Kemudian pada tahun 1972, Prof D. Meadow, salah satu anggotanya menulis dalam bukunya The Limits to Growth tentang keadaan dunia, penduduk dan sumberdaya alam. Beliau menyimpulkan bahwa akan terdapat 5 faktor yang menentukan dan membatasi pertumbuhan di bumi yaitu kependudukan, produksi pertanian, sumberdaya alam, produksi industri dan pencemaran lingkungan hidup. 

Di dalam bukunya disebutkan banyaknya faktor yang saling berinteraksi satu sama lainnya dan diproyeksikan hal itu bakal terjadi. Bila kecenderungan ini muncul dan terus berlanjut maka akan terjadi malapetaka dunia.

Persaingan 3F

Apa yang diramalkan oleh The Club of Rome ini sudah mulai terjadi. Persaingan antara Food, Feed, Fuel telah terjadi. Pada saat ini terjadi perebutan komoditas kedele dan jagung sebagai pangan dan pakan yang sama kuatnya, sementara sumberdaya alam membatasinya dengan perubahan iklim dan degradasi lahan akibat industri yang menghasilkan pupuk dan pestisida anorganik. Akibatnya kedua mahluk Allah ini akan sama sama mengalami penderitaan akibat langka dan mahalnya harga pangan dan pakan.

Kelapa sawit yang biasanya digunakan untuk minyak nabati untuk menggoreng bahan pangan kita, sekarang digunakan pula sebagai sumber Energi Baru Terbarukan. Persaingan antara pangan dan energi ini menimbulkan naiknya harga minyak goreng akibat naiknya harga CPO di bursa perdagangan dunia.

Pertambahan penduduk dunia menuntut ketersediaan pangan dan energi yang cukup. Tetapi pertambahan ini diikuti pula dengan pertambahan populasi ternak dan peningkatan produksi pertanian. Sementara itu pertumbuhan penduduk dapat di rem untuk bertumbuh dan pertumbuhan populasi ternak dan produksi pertanian dapat tejadi "levelling off". Levelling off ini terutama dapat terjadi apabila kerusakan lahan dan sumberdaya alam lainnya akibat terlalu dieksploatasi dari berbagai tehnologi yang dikuasai oleh manusia.

Tetapi manusia juga terus berinovasi untuk menghasilkan tehnologi dan biotehnologi untuk kembali menaklukkan alam dan seisinya. Akibatnya terjadi lingkaran setan hubungan antara food-feed-fuel yang tidak berkesudahan seperti yang telah diramalkan oleh The Club of Rome.

Indonesia dan Masalah Saat ini

Krisis langka dan naiknya harga kedelai telah berimbas pada pengrajin tahu dan tempe yang menjadi makanan favorit bangsa ini. Inti masalahnya yaitu terjadinya kekeringan di sentra produksi kedelai dunia di wilayah Amerika Selatan yaitu di daerah Argentina dan Brazil. Selain itu permintaan China akan kedelai juga meningkat pesat karena China mengembangkan re stocking ternak babinya yang baru-baru ini terserang wabah African Swine Fever (ASF). Re-stocking babi China ini jumlahnya milyaran ekor yang membutuhkan pakan utama kedelai.

Indonesia yang 80% kebutuhannya dipenuhi dari impor jadi terimbas dan sangat dirasakan oleh para pengrajin tahu tempe karena harga per kg naik dari Rp. 8.000 an menjadi Rp. 12.000 an. Kenaikan harga ini menyebabkan harga tempe per kg naik dan tahu perpotong naik juga. Mereka berniat mogok jualan tempe dan tahu pada minggu ini.

Jagung kurang lebih sama kondisinya. Dilatar belakangi oleh pertumbuhan populasi dan produksi ayam ras sejak tahun 1999 sampai tahun 2019, produksinya mengalami lonjakan sangat luar biasa sebesar 1.559% dibandingkan produksinya pada tahun 1999. Kontribusi terhadap produksi daging total meningkat dari 22% ke 74,43% dalam kurun waktu yang sama.

Dalam produksi pakan unggas baik pedaging maupun petelur, komponen jagung memegang peranan yang vital dan strategis. Dalam formulasi pakan unggas di Indonesia jagung diperkirakan 40-50% sehingga kebutuhannya saat ini diperkirakan lebih dari 6 juta ton dari produksi jagung nasional sebesar lebih dari 22 juta ton. Tetapi masalahnya terletak dikontinuitas pasokan yang tidak merata sepanjang tahun akibat waktu tanam dan panen yang berbeda. Jagung selain merupakan salah satu pangan utama juga menjadi bahan baku utama pakan sebagai sumber energi.

Kelapa sawit, walaupun luas tanamnya mencapai 14 juta hektar dan memproduksi crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, penggunaannya tidak sepenuhnya untuk minyak sawit atau minyak goreng. Sawit juga digunakan sebagai sumber energi Baru dan Terbarukan. Dalam rangka mencukupi kebutuhan minyak goreng domestik, pemerintah mengerem laju ekspor CPO dengan menerapkan kewajiban pemenuhan domestik atau Domestic market obligation (DMO) sebesar 20%. Keputusan ini diambil dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng yang meningkat sampai Rp 18.000 – Rp 20.000. Harga ini dianggap jauh dari HET yang telah ditetapkan sebesar Rp.14.000 per liter dalam kemasan premium.

Penggunaan sawit sebagai bioetanol tidak terelakkan karena selama ini energi berbasis fosil yang ekstraktif dan terancam habis. Pemerintah telah mencanangkan program energi bersih dan hijau yang ramah lingkungan yang salah satunya berasal dari sawit.

Solusi dan Rekomendasi

Indonesia, selalu dirundung permasalahan dalam hampir setiap komoditi yang menjadi kebutuhan masyarakat. Biasanya masalah terkait dengan impor produk komoditas tersebut.

Dari beras yang kekurangan stok, jagung yang di klaim cukup tetapi impor dilakukan untuk pakan, kedele, bawang putih, gandum, gula, bahkan garam, jenis ikan tertentu, daging sapi, bibit ayam ras dan sebagian produk hortikultura seperti jeruk, dan apel. Padahal di negeri yang agraris dan pantainya terpanjang serta limpahan sinar matahari di garis khatulistiwa ini sangat beragam sumber makanan baik karbohidrat, protein, dan lemak maupun mineral.

Paling tidak telah diidentifikasi 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 309 tanaman buah buahan, 22 jenis kacang kacangan, 110 jenis rempah dan bumbu, dan 40 jenis bahan minuman. Berbagai komoditi ini sudah merupakan modal penting untuk terjadinya ketahanan pangan berbasiskan pangan lokal tidak impor.

Kepada Badan Pangan Nasional kita letakkan pesan ini untuk mencapai kedaulatan pangan. Hak kita sendiri untuk merencanakan pangan, bukan didikte oleh bangsa lain.

Dikaitkan dengan ramalan The Club of Rome dengan skenario pesimis, maka untuk Indonesia langkah-langkah komprehensif yang perlu dilakukan segera adalah menindak lanjuti Kesepakatan Global tentang perubahan iklim sesuai rapat tingkat tinggi negara-negara G 20 di Glasgow Scotlandia belum lama berselang. Kalau disepakati berarti Indonesia secara konsisten harus mengurangi deforestrasinya agar terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca.

Di tingkat global juga perlu diakhiri perang dagang antar negara sehingga perdagangan bebas komoditi antar negara berlangsung dengan lancar. Kesepakan global untuk mengatasi pandemi juga diperlukan, tidak sendiri sendiri.

Secara mikro terus memperbaiki rantai pasok perdagangan dalam negeri agar lebih efisien. Komoditas kedelai, produksi dalam negeri secara bertahap harus ditingkatkan. Komoditas jagung perlunya pendataan jagung dalam negeri dengan mengkaitkan kebutuhan untuk unggas dan untuk sawit kita dapat menjadi price leader di pasar dunia.

Ayo, selamatkan pangan lokal dan kita bangun sistim pangan berbasis keragaman lokalita.

 

Info PaGi, Pangan dan Gizi

Jakarta, 21 Pebruari 2022

Penulis pernah menjawab sebagai Sekretaris Ditjen PKH, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementan, sekarang Penasehat Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

KORPORASI PETERNAK RAKYAT (Prof. Muladno)

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

Korporasi peternak rakyat sebagai bentuk kebersamaan dalam berbisnis ternak merupakan keniscayaan bagi komunitas peternak rakyat di Indonesia. Peternak kecil yang jumlahnya jutaan ini tidak akan pernah bisa berkembang jika mereka melakukan usaha peternakan sendiri-sendiri. Cepat atau lambat mereka akan tergilas oleh kekuatan besar.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) mulai tahun 2020 ini meluncurkan program superprioritas 1000 desa sapi. Walaupun nama programnya hanya menggunakan komoditas sapi, program ini juga mencakup semua komoditas. Tujuan utamanya adalah mewujudkan korporasi sebagai usaha kolektif berjamaah yang dijalankan komunitas peternak rakyat yang tinggal di kawasan terpilih. 

Kawasan ini nanti terdiri atas maksimal lima desa yang secara geografis saling berdekatan. Untuk memulai bisnisnya berbasis korporasi itu, pemerintah akan memberikan 100 ekor sapi jantan (untuk usaha penggemukan) dan 100 ekor sapi betina (untuk usaha pembiakan) di setiap desa dalam kawasan korporasi tersebut. Ini benar-benar merupakan pekerjaan besar bagi komunitas peternak rakyat dan resiko gagalnya tinggi jika tidak dirancang secara matang dan bertahap implementasinya.

Lebih dari 85% peternak rakyat maksimum lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan skala kepemilikan ternak sapinya 2 - 3 ekor per peternak. Mereka juga bekerja secara tradisional, sendiri-sendiri, dan menjadikan ternaknya sebagai tabungan hidup. Kondisi peternak seperti itu sudah diketahui publik bertahun tahun. Ratusan peternak dalam kawasan itu yang menjadi target untuk dihimpun dan diarahkan agar dapat menjalankan usaha peternakan secara kolektif berjamaah yang minimal melibatkan ratusan peternak per korporasi.

Jika program superprioritas (program atas perintah langsung Presiden RI) dikerjakan sendiri oleh DJPKH, maka dapat dipastikan akan gagal. Bukan karena DJPKH tidak mampu tetapi pekerjaan ini terlalu besar, kompleks, dan aktor utamanya adalah komunitas peternak rakyat berkualifikasi pendidikan rendah. Apalagi dalam program ini direncanakan akan ada pendistibusian 1000 ekor indukan sapi impor per kawasan oleh pemerintah pusat kepada komunitas peternak rakyat di lokasi korporasi. Dengan asumsi harga sapi impor adalah Rp.25juta per ekor, maka akan ada aliran dana minimal Rp. 25 Milyard di setiap per kawasan. Angka ini merupakan salah satu sumber potensi kegagalan program secara keseluruhan. Banyak kepentingan akan bermain di situ.

Jika ingin berhasil, tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut: (1) siapkan komunitas peternak rakyat sebaik-baiknya untuk memahami betul arti dan makna korporasi. Dengan kondisi sumberdaya manusia peternak seperti disebutkan di atas, tahap ini merupakan yang paling sulit. (2) Melakukan uji coba (praktikum) berbisnis kolektif berjamaah melalui kerjasama dengan komunitas masyarakat untuk dapat memahami filosofi usaha bersama sebaik-baiknya, juga untuk mengetahui soliditas tim dan semangat berjamaahnya dalam berbisnis. Minimal diperlukan waktu satu tahun untuk melakukan uji coba kerjasama bisnis. (3) Regulasi yang menjamin keberlangsungan usaha korporasi harus disiapkan dan diterbitkan sebelum program superprioritas diterapkan. (4) Melakukan koordinasi di tingkat bawah yang melibatkan unsur desa, kecamatan, TNI/POLRI, dan dinas terkait tingkat kabupaten/kota untuk merumuskan siapa berbuat apa. (5) Implementasi program korporasi secara resmi di komunitas peternak yang telah disiapkan melalui tahapan tersebut di atas.

Untuk memulai tahapan tersebut, bupati/walikota merupakan pihak yang paling berperan. Pemimpin daerah tersebut harus mengalokasikan anggarannya untuk dapat menggandeng perguruan tinggi agar dosen dan mahasiswa memberikan pembelajaran kepada komunitas peternak rakyat. Institusi pendidikan ini yang paling kompeten dalam mempersiapkan komunitas peternak rakyat agar dapat menjalankan usaha peternakan berbasis korporasi.

Tantangan berikutnya adalah mengajak komunitas masyarakat untuk dapat menjadi mitra bisnis komunitas peternak rakyat sebagai bagian dari uji coba bisnis peternakan secara berjamaah. Ini penting dilakukan sekalian untuk mengetahui tingkat kepercayaan publik terhadap peternak rakyat dalam bermitra bisnis. Selama ini banyak kesan bahwa pemitra kapok bermitra dengan peternak rakyat karena selalu berakhir dengan ketidakberesan.

Masih ada sederetan tantangan lainnya yang dihadapi oleh penyelenggara program korporasi bagi komunitas peternak rakyat ini yang hanya dapat diatasi melalui sinergi dan kolaborasi banyak pihak yang sehati dan sevisi memperbaiki nasib peternak rakyat yang telah lama tak berdaya. Tanggalkan egoistis dan perkuat kolaborasi berlandaskan kesetaraan. Ini harus tercermin dalam semua strategi dan aksi menjalankan program superprioritas 1000 desa sapi.***

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Fapet IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Penasehat Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

OMNIBUS LAW PETERNAKAN (Oleh Prof. Muladno)

 

Untuk mendorong kegiatan ekonomi dan investasi di bidang peternakan, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyiapkan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU-CK). Draft RUU-CK ini beredar melalui media sosial dan menimbulkan pro-kontra bagi komunitas peternakan. Sebenarnya niat pemerintah yang terkandung dalam RUU-CK adalah sangat bagus sebagaimana dinyatakan dalam diktum pembukaan RUU tersebut. 

Namun demikian, berdasarkan definisi Cipta Kerja yang dinyatakan pada Pasal 1 Butir 1 “upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional”, implementasinya masih belum jelas. Substansi bidang peternakan di RUU tersebut relatif sama dengan yang terdapat dalam UU No. 18 tahun 2009 jo UU No. 41 tahun 2014.

Dengan adanya penyebutan Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategis Nasional, upaya penciptaan kerja ini tampaknya didasarkan pada proyek semata. Padahal berbagai proyek yang dijalankan pemerintah pusat dalam pengembangan peternakan selama ini, jika tidak mau dikatakan gagal total, seringkali lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Klausul pasal pasal dalam RUU-CK bagi perusahaan besar mungkin sangat mudah dipahami dan gampang implementasinya, misalnya tentang impor dan ekspor produk hewan maupun ternak hidup. Dalam konteks impor, cenderung dipermudah dalam persyaratannya. Namun demikian, upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha peternakan rakyat di dalam negeri tidak jelas upaya yang akan dilakukan pemerintah.

Produktivitas peternak rakyat harus ditingkatkan

Peternakan sapi rakyat di Belu NTT (dok Yappi)

Selama ini diskusi tentang peternakan rakyat untuk semua komoditas ternak masih berkutat kepada populasi saja. Populasi berlebih maupun kekurangan populasi. Ternak sapi pedaging merupakan komoditas ternak yang populasinya bersifat “kekurangan” sedangkan ayam ras pedaging adalah komoditas ternak yang bersifat “kelebihan”. Dua-duanya ternyata memiliki produktivitas rendah dalam konteks bisnis. Ini yang harusnya menjadi perhatian penting dalam RUU-CK.

Pemerintah yang powerfull ini hanya punya jurus “membunuh ternak yang berlebih jumlahnya” dan “mengimpor ternak yang kekurangan jumlahnya”.  Jutaan telur siap tetas dihancurkan setiap minggu. Untuk ternak sapi, tahun ini dicanangkan oleh Pemerintah Pusat untuk mengimpor 1.5 juta sapi indukan. Jika dalam RUU-CK ini masih berorientasi populasi dan satu-satunya cara untuk menambah populasi harus dengan impor ternak indukan, itu namanya bukan Cipta Kerja tetapi Cipta Dagang. 

Oleh karena itu, jika pemerintah menerapkan RUU-CK, maka penambahan populasi ternak harus berasal dari pembiakan ternak lokal yang ada di Indonesia bukan mengimpor indukan sapi dari luar negeri dalam jumlah besar. Apalagi jika pengadaan ternak indukan itu dilakukan oleh pemerintah kemudian dibagi-bagikan ke peternak rakyat, data empiris menunjukkan kegagalan dan kegagalan lagi. Dengan kata lain, tingkatkan produktivitas ternak yang ada di Indonesia denga meningkatkan produktivitas peternaknya.

Substansi dalam RUU-CK harus berorientasi pada peningkatan produktivitas peternak rakyat karena mereka yang mau dan mampu melakukan pembiakan ternak sapi. Beberapa substansi yang harus ada dalam RUU-CK adalah:

1. Semua usaha peternakan harus berbentuk perusahaan dan tidak ada lagi usaha peternak invididu. Peternak individu berskala kecil harus berhimpun untuk menjadi perusahaan kolektif. Dengan demikian hanya ada dua macam perusahaan peternakan yaitu perusahaan perorangan dan perusahaan kolektif (missal koperasi)

2. Untuk perusahaan perorangan, Pemerintah hanya memfasilitasi dalam bentuk regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya. Untuk perusahaan kolektif, selain regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya, pemerintah juga menyediakan fasilitas umum bagi peternak yang tergabung dalam perusahaan kolektif. 

3. Perusahaan kolektif merupakan hasil konsolidasi peternak individu dengan ditentukan jumlah minimal kepemilikan ternak per perusahaan dan ditentukan cakupan wilayah perusahaannya, misalnya satu kecamatan dengan jumlah minimal ternak sapi indukan 1000 sd 5000 ekor 

4. Perguruan tinggi secara institutional bersama dengan pemerintah melakukan pendampingan kepada perusahaan kolektif secara terus menerus. Dana pendampingan harus berasal dari Kementerian yang membawahi perguruan tinggi bukan dari Kementerian yang membawahi urusan peternakan

5. Impor produktif harus ditingkatkan sedangkan impor konsumtif harus dikurangi. Misalnya, impor sapi bakalan hidup harus ditingkatkan karena dapat menggerakan kegiatan ekonomi dengan multiefek yang besar. Impor daging beku harus ditingkatkan juga apabila daging tersebut digunakan sebagai bahan industri pembuatan bahan pangan olahan bukan untuk dikonsumsi.

6. Pemerintah hanya boleh bertindak sebagai regulator dan fasilitator saja dan tidak boleh bertindak sebagai aktor dalam kegiatan ekonomi di bidang peternakan karena pada dasarnya masyarakat telah mampu melakukannya

7. Yang diatur dalam RUU-CK ini adalah perusahaan peternakannya bukan ternaknya sehingga pengaturan dalam RUU-CK tidak bersifat teknis semata tetapi harus bersifat bisnis-strategis

8. Lahan marginal perkebunan atau kehutanan atau sejenisnya harus dipermudah untuk digunakan sebagai lahan penggembalaan ternak

9. Perbankan untuk perusahaan kolektif dengan bunga bersubsidi atau melalui pola syariah dipermudah persyaratannya

10. Lembaga keuangan non-bank untuk CSR atau PKBL harus dipacu untuk menggelontorkan dana bagi perusahaan kolektif

11. Fasilitas publik seperti sumur air atau embung harus disediakan oleh pemerintah di peternak rakyat yang telah terkondolidasi dengan baik

12. Industri olahan yang menghasilkan limbah yang bermanfaat bagi pakan ternak harus disisihkan untuk kebutuhan perusahaan kolektif

13. Kewenangan pemerintah pusat yang terlalu besar harus dikurangi menjadi lebih proporsional. Perkuat kewenangan bupati/walikota dalam menata industri peternakan. Terbitkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Peternakan agar bupati/walikota memiliki pegangan hukum untuk mengatur dengan baik, bear, dan adil.

14. Dan masih banyak lagi perihal sepele tetapi memberi dampak besar bagi peningkatan produktivitas peternak yang mengakibatkan peningkatan produktivitas ternaknya.

Penekanan pada penguatan sumberdaya peternak

RUU-CK ingin dapat diimplementasikan secara sukses, maka yang bisa menjalankan adalah peternak rakyat karena jumlah peternak memang sangat banyak. Jika 10 juta peternak rakyat dirancang dan diupayakan untuk memiliki 3 sapi ekor indukan per peternak melalui strategi sinergi dan kolaborasi antar pihak, ada 30 juta ternak indukan sebagai pabrik yang menghasilkan bakalan setiap tahun. Pelan tapi pasti populasi sapi akan meningkat dan kebutuhan dalam negeri kan tercukupi. 

Yang penting, sapi indukan tersebut mayoritas berasal dari hasil pembiakan sapi indukan yang sudah ada di Indonesia. Kalaupun ada sapi indukan impor, pengadaannya bukan karena proyek pemerintah tetapi benar-benar bisnis, sebagaimana ketentuan pemerintah yang mewajibkan 5% dari kuota impor sapi bakalan harus berupa sapi indukan.

Peternak rakyat akan sanggup membangun perusahaan kolektif di bidang pembiakan ternak sepanjang dibimbing, diarahkan, didampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan jika ada niat untuk membuat RUU-CK berjalan. Tapi jika pendekatan yang digunakan hanya berdasarkan proyek strategis nasional untuk pengadaan sapi, sekali lagi, itu namanya bukan RUU-CK tetapi RUU-CD (Cipta Dagang).

Peran peternak rakyat yang mencintai pekerjaannya sebagai penggembala ternak harus dimaksimalkan. Mereka perlu ditingkatkan kemampuan teknisnya, penguatan wawasan bisnisnya dan diubah pola pikirnya untuk mau bersatu padu membentuk perusahaan kolektif.  Pemerintah juga harus tegas bahwa hanya perusahaan kolektif saja yang mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah. Perusahaan kolektif ini tentu saja yang professional bukan sekedar kelompok jadi-jadian.

Sinergi dan Kolaborasi Antar Instansi 

RUU-CK untuk bidang peternakan bukan tanggung jawab Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) tetapi lintas kementerian. Pernyataan sinergi antar lembaga sangat mudah diucapkan tetapi sulit implementasinya. Namun demikian, sinergi tersebut bisa dilaksanakan jika dikomando dari atas. Presiden harus memaksa lembaga di bawahnya bersinergi secara institusional mulai dari pencanaan anggaran sampai ekskusinya dan pembagian kewenangannya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus jelas. Dalam hal ini, peran pemerintah kabupaten/kota harus lebih diutamakan karena pada dasarnya pemimpin rakyat secara langsung adalah Bupati/Walikota.

Uraian di atas bukan wacana belaka tetapi telah diujicobakan dan memberi hasil yang menggembirakan. Melalui program Sekolah Peternakan Rakyat yang dijalankan sejak awal 2013, ternyata komunitas peternak rakyat mampu berlari kencang dalam bisnis kolektifnya. Mereka tidak butuh bantuan sapi kepada pemerintah tapi mereka bersedia berbisnis melalui kemitraan, baik dengan bank maupun lembaga keuangan non-bank. 

Sama juga dengan komoditas ternak ayam ras pedaging. Tidak ada dana triliunan rupiah digelontorkan untuk pembangunan industri perunggasan tapi justru melimpah dan oversupply. Jika industri peternakan sapi tidak diintervensi oleh banyaknya kebijakan pemerintah melalui “proyek”, jangan-jangan populasi sapi juga akan melimpah ruah. Omnibus law menjadi penting dan bisa mengubah industri peternakan jika substansi dalam RUU-CK benar-benar mengedepankan peran pelaku usaha. Bukan mengedepankan peran pemerintah.***

Penulis adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dewan Pembina YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)

 








STRATEGI CORONIAL

Prof. Muladno
Babak belurnya ekonomi di seluruh dunia gara-gara corona virus disease (covid19) sudah menjadi berita sehari-hari.  Namun demikian virus itu sebenarnya juga memberikan beberapa keuntungan diantaranya (i) membuat manusia berpola hidup bersih dan sehat (ii) beraktivitas dengan penuh kehati-hatian, (iii) meningkatkan rasa empati kepada sesama, (iv) produktif dan efisien beraktivitas secara on line, dan (v) dapat menjadikan corona sebagai kambing hitam bagi capaian kinerja kita yang tidak maksimal.

 Saat ini, selagi covid19 menjadi kambing hitam dari banyak persoalan sosial ekonomi dan bisa jadi merembet ke politik, kita perlu manfaatkan untuk membuat strategi baru dalam membangun peternakan di Indonesia. Jangan dibahas terus tetapi segera laksanakan saja. Sudah bertahun-tahun, solusi yang digunakan dalam mengatasi permasalahan kronis peternakan adalah bersifat parsial dan terkesan dikerjakan secara buru-buru. Akibatnya permasalahan masih terus ada hingga kini.

 Ada dua strategi yang diuraikan di sini, yaitu strategi membangun peternakan berskala industri (diwakili komoditas ayam ras pedaging) dan strategi membangun peternakan berskala kerakyatan (diwakili komoditas sapi pedaging). Untuk skala industri, strateginya saya buat akronim SINERGI sebagai berikut. 

Sasaran utamanya adalah terwujudnya usaha yang efisiensi, efektif, dan produktif dalam rangka meningkatkan daya saing produk peternakan di pasar global. Integrasi vertikal yang telah dijalankan perusahaan raksasa multi-usaha harus dipertahankan dan ditingkatkan lagi efisiensinya. Bagi perusahaan mono-usaha, integrasi horizontal mutlak dilakukan. Era sekarang tidak mungkin lagi perusahaan mono-usaha melakukan sendiri, tetapi harus berkolaborasi. Integrasi horizontal memiliki makna kolaborasi antar pemangku kepentingan secara tersistem dan terukur, baik dengan instansi pemerintah, instansi perguruan tinggi, instansi perusahaan, dan komunitas peternak.

 Nurani dalam menjalankan bisnis di Indonesia yang berlandaskan pancasila ini harus diutamakan. Sifat tepo seliro kepada yang lain, ojo dumeh, dan semangat saling membantu merupakan karakter yang sangat penting dalam melanggengkan usaha peternakan berskala industri di Indonesia. Empati kepada siapapun tentu dapat menimbulkan semangat kekeluargaan dalam satu bangsa untuk bersama-sama membangun masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Regulasi pemerintah harus jelas dan terdistribusi secara tepat. NKRI ini negara besar yang tidak mungkin semua permasalahan ditangani pemerintah pusat saja. Tiga puluh empat pemerintah provinsi dan 450 pemerintah kabupaten/kota harus diperankan secara lebih nyata dan efektif untuk membuat suasana kondusif dalam industri peternakan di seluruh Indonesia

 Dalam rangka efisiensi dan produktif juga, Galakkan impor produktif dan galakkan juga ekspor konsumtif. Ada pandangan salah kaprah selama ini, bahwa impor itu adalah jelek sedangkan ekspor adalah baik. Padahal, dua-duanya baik tergantung niatnya. Impor barang yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas nasional, harus dilakukan. Misalnya impor jagung pakan unggas merupakan contoh impor produktif karena digunakan untuk membuat pakan kebutuhan ayam. Impor chicken leg quarter (CLQ) adalah contoh impor konsumtif dan ini harus dihindari. Demikian juga untuk ekspor. Dikatakan ekspor jelek jika barang yang diekspor merupakan bahan mentah karena kita tidak memperoleh nilai tambah.

 Terakhir, Insentif bagi pelaku usaha yang berprestasi. Untuk hal ini, memang perlu selalu ada evaluasi kinerja perusahaan secara objektif dan terukur. Pemerintah dapat bekerjasama dengan akademisi dan asosiasi untuk penyelenggaraan evaluasi ini. Dimulai di era coronial ini, semua pihak harus bersih, transparan, dan kolaboratif dalam menjalankan bisnis peternakan.

 Adapun strategi coronial untuk membangun peternakan berskala kerakyatan, saya membuat akronim KOMPAK

Konsolidasikan peternak rakyat supaya menjadi makin eksis melalui pendidikan dan pemberdayaan. Ini adalah peternak yang betul-betul peternak. Bukan peternak yang baru lahir karena adanya proyek. 

Organisir peternak yang terkonsolidasi agar mau membentuk perusahaan kolektif berjamaah atau koperasi. Pembentukan koperasi ini harus bernuansa bottom-up dalam upaya membuat komunitas peternak faham betul makna berkoperasi. Mendidik dan memberdayakan adalah kunci utama untuk suksesnya mengonsolidasikan dan mengorganisir komunitas peternak rakyat. 

Partnership (mitra setara) harus dijadikan landasan dalam kerjasama bisnis dengan siapapun. Tidak ada superior-inferior dalam bekerjasama tetapi lebih bernuansa saling membutuhkan. 

Anggaran pemerintah seharusnya digunakan untuk memfasilitasi semua komunitas peternak yang telah terkonsolidasi dan terorganisir dalam rangka mempercepat terbentuknya usaha kolektif berjamaah yang lebih profesional. 

Kolaborasi empat pihak yang terdiri atas Academician, Businesman, Government, dan Community (komunitas peternak rakyat) secara institusional harus diwujudkan secara legal formal yang di back-up dengan regulasi yang kuat kedudukannya, misalnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Mari bersama corona mencari berkah!!***

Penulis adalah Guru Besar Fapet IPB , Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pengurus YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)

Artikel ini telah dimuat di Majalah Trobos edisi Juli 2020

REGENERASI TECHNICAL SERVICE INDUSTRI PETERNAKAN

 Oleh : Drh Dedy Kusmanagandi MM


Di bidang agribisnis peternakan, Technical Service (TS) adalah salah satu jabatan yang memiliki tugas pelayanan teknis yang berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan. Namun secara  operasionalnya di lapangan ternyata cakupan tugasnya cukup bervariasi, tergantung kepada jenis perusahaan dan manajemen perusahaannya. Bertanggung jawab ke Departemen Layanan Teknis ( Technical Servise Departement ) seorang TS bertugas mendampingi bagian pemasaran untuk mengoptimalkan pelayanan perusahaan. Namun demikian kenyataan di lapangan penetapan strategi dan penentuan ‘gugus tugas’ (Job Dis) lebih sering dibawah koordinasi langsung Manajer Pemasaran. Oleh karena itu wajar saja bila terkadang sulit membedakan antara TS dan Salesman. Dibeberapa perusahaan bahkan fungsinya bertindak sebagai ‘General Salesman’ - yaitu melakukan promosi, penjualan, pengiriman barang, penagihan, serta melakukan pelayanan teknis sekaligus. 


TS generasi pertama, antara tahun 1980 – 1990 di perusahaan  obat hewan, memiliki variasi nama yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, diantaranya : Veterinary Technical Sales Representative (VTSR), Veterinary Technical Service (VTS),Veterinary Advisor (Vet Ad), Veterinary Representative (Vetrep),  Marketing Representative (MR), Sales Promotor (SP), Sales Executive (SE), serta nama-nama lain yang sangat variatif tetapi tugasnya sama, yaitu bertanggung jawab terhadap tercapainya target penjualan. Trend merekrut Dokter Hewan sebagai TS dimulai sekitar tahun 1980 mengikuti keharusan penggunaan resep dokter hewan pada  penjualan obat keras yang merupakan komponen utama pemasukan perusahaan. Namun pada periode berikutnya Sarjana Peternakan pun banyak yang menjabat TS setelah perusahaan makanan ternak dan pembibit melakukan ekspansi pemasaran.

TS generasi pertama kini telah banyak yang menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar, bahkan menjadi pemilik perusahaan kelas menengah. Sebagian lagi, ‘Alumni TS’ banyak yang sudah beralih profesi ke berbagai bidang yang masih terkait dengan bidang kesehatan hewan atau produksi peternakan, tetapi tidak sedikit yang kini bergerak di bidang usaha yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang perunggasan seperti bengkel mobil, furniture, bidang pendidikan, elektronik dan komputer,  perdagangan umum, asusransi, serta pelayanan jasa lainnya. Satu hal yang sangat menarik adalah, bagi orang-orang tertentu, kecintaan yang sangat dalam terhadap profesi TS ini sungguh luar biasa. Mengunjungi peternakan yang akrab dengan alam pedesaan, pegunungan, bukit-bukit hijau, adalah momen yang tidak dapat tergantikan. Apalagi bila kita dapat membantu orang yang sedang kesulitan karena ternaknya terserang wabah penyakit. Senyum kebahagiaan peternak jauh lebih bernilai dibandingkan  bonus penjualan akhir tahun. 

Kesetiaan orang-orang yang menjalankan tugas TS selama lebih dari  20 tahun bukan suatu hal yang biasa-biasa saja. Apalagi bila dia menolak ketika dipromosikan ke posisi jabatan yang lebih tinggi, karena begitu cintanya dia dengan tugas lapangan.  Terkadang hal ini membuat pimpinan perusahaan tidak bisa mengerti.. Beberapa orang luar biasa ini bahkan menjalani tugas sebagai TS  tetap dalam satu perusahaan, sejak dia lulus kuliah hingga saat pensiun tiba, tanpa terlintas untuk berpaling ke perusahaan lain. Berbahagialah orang-orang yang dapat melampaui rentangan waktu yang demikian panjang, dalam satu profesi yang bagi sebagian orang merupakan tugas dengan tingkat ‘stress’ yang cukup tinggi.

Penetapan anggaran, pembagian area, supervisi, sampai kepada evaluasi dan audit pemasaran adalah stress pertama yang harus dihadapi TS dalam melaksanakan tugasnya. Harga produk yang tidak kompetitif, promosi yang terbatas, biaya operasional yang super hemat, manajemen yang tidak ramah adalah stress internal yang sering datang secara latent – bisa datang kapan saja.  Stress berikutnya datang dari lingkungan eksternal  perusahaan, dimana persaingan bisnis obat hewan berjalan  sangat kompetitif,. Terbatasnya jumlah pelanggan, jarak dan lokasi peternakan yang sangat jauh dan sulit dijangkau, fasilitas tidak memadai, tuntutan stamina fisik yang prima, serta semakin banyaknya perusahaan obat hewan pesaing, baik lokal atau impor yang  bermunculan, sungguh merupakan suatu tantangan yang tidak ringan untuk dilalui.

Tidak banyak perusahaan yang secara bijak melakukan studi pendahuluan terhadap kelayakan penempatan seorang TS di suatu daerah. Yang sering terjadi adalah pengambilan keputusan linier, yakni bila populasi ternak padat, maka seorang TS harus ditempatkan berapapun biayanya, apapun resikonya, yang penting nama perusahaan berkibar, tetapi bila tidak ada kontribusi yang memadai maka TS harus dipecat, minimal harus dimutasi bila target omzet penjualan tidak terpenuhi. Yang lebih lucu lagi bila pimpinan perusahaan penuh gengsi. Bila mendengar perusahaan competitor menempatkan seorang TS, maka perusahaannya pun harus menempatkan TS, kalau bisa lebih banyak jumlahnya.

Studi kelayakan penempatan seorang TS yang asal jadi adalah desain stress yang struktural. Memang benar,  stress yang terukur dan  terkendali sangatlah membantu produktivitas.  Tetapi harus ada ‘shockbreaker’ yang cukup, karena ketahanan seseorang terhadap stress berbeda-beda. Banyak TS yang langsung diare begitu mendapat peringatan lisan pertama.  Tetapi ada juga yang ‘mental badak’ -, tetap bebal meskipun sudah mendapat surat peringatan terakhir dan hanya terpecut ketika dia diremehkan oleh calon mertua atau dilecehkan oleh mantan. 

Pemasaran obat hewan seringkali mengandalkan ‘personal selling’ sebagai ujung tombak pemasaran, sehingga mau tidak mau, menuntut manajemen harus cerdas dalam mengelola gugus pemasarannya. Jurus ampuh untuk menggerakkan  potensi dalam diri seseorang adalah ‘motivasi’.  Orang malas adalah orang yang belum termotivasi. Dan suatu target tidak tercapai adalah karena salah dalam memotivasi.  Banyak manajer merasa telah memotivasi anak buahnya, padahal yang terjadi adalah, dia hanya memindahkan stress yang diterimanya dari atasan dan mendistribusikannya kepada bawahan. Banyak manajer yang sudah menguasai ‘ilmu berkelit’ bila targetnya tidak tercapai. Sebagian bahkan sudah punya ‘bahan presentasi dan‘kompilasi data yang indah’ yang dapat mendukung argumennya bila  suatu saat ‘Bos Besar’ datang dengan wajah penuh ketidakpuasan.

Tentu selalu ada manajer professional yang  siap dengan resiko demi membela bawahannya. Sepanjang dia mampu dia akan pasang badan untuk menjaga marwahnya, apalagi bagi sesama kolega atau kawan se-almamater.   Namun demikian cepat atau lambat, akan tiba saatnya Bos Besar meminta ‘regenerasi’ karyawan, atau merotasi gugus depan yang sudah kurang produktif. Bagaimanapun juga tidak banyak orang yang fisiknya tetap terjaga untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi seorang TS yang profesional. Mungkin saja masih ada Bos Besar yang harus membuat keputusan ‘sadis’  dengan mencari-cari alasan agar seorang TS segera “pensiun dini’ dengan biaya PHK seminimal mungkin.

Regenerasi adalah kata yang lebih bijak dari pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja seharusnya diharamkan oleh perusahaan kecuali bila karyawan yang memintanya. Konsep PHK seharusnya diganti dengan konsep ‘Alternatif Hubungan Kerja’ bagi pekerja lama, dan konsep Regenerasi bagi penggantian karyawan lama oleh pekerja baru.  Tentu tidak mudah menemukan posisi yang tepat bagi orang yang akan diregenerasi, hampir sama sulitnya dengan mencari calon pengganti yang kompeten bagi jabatan TS. Namun regenerasi harus berjalan, karena ini proses alami.  Manajemen harus menemukan desain yang baik, seperti menjadikan karyawan lama sebagai distributor, supplier, tenaga ahli, konsultan, atau posisi lain disertai dengan program ‘Golden Shakehand” bagi yang memang sudah saatnya pensiun.

Pada rentang tahun 2009 - 2019 ini, beberapa orang yang meniti karir mulai dari jenjang TS sudah mulai memasuki masa pensiun.  Seiring dengan hal tersebut, beberapa rekan senior Dokter Hewan dan Sarjana Peternakan, mengabarkan putera-puterinya telah ada yang diwisuda mengikuti jejak orang tuanya dan mulai mengisi formasi lowongan kerja yang tersedia.. Dengan demikian maka regenerasi yang biasanya terjadi melalui jenjang ‘kakak kelas - adik kelas’ kini telah terlewati, dan mulai masuk ke periode ‘Bapak kelas - Anak kelas’  atau jenjang ‘orangtua – anak’.  Pergeseran ini merupakan periode bersejarah karena banyak hal telah berubah.

Regenerasi TS kini telah melahirkan perbedaan yang signifikan dalam komunikasi pemasaran. Era Pemasaran Digital telah menjadi ranah baru pemasaran obat hewan. Adanya Market Place telah membuka peluang kreatif dan efisiensi distribusi. Kemudahan akses global B telah memperbaharui pola hubungan principal, distributor dan pelanggan. Telah banyak Investor yang langsung berinvestasi karena besarnya pasar Indonesia, dan umunya menggaet mantan TS senior sebagai partner, sebagai pembuka akses kepada peternak dari berbagai kalangan.  

Segmen peternak kalangan menengah atas kini dominan sebagai kontributor omzet penjualan, sedangkan segmen menengah bawah terutama Broiler sudah mulai diabaikan, kecuali yang terjaring dalam suatu himpunan massif atau tergabung dalam Kerjasama Manajemen. Meskipun komunikasi tatap muka masih penting, tetapi esensi hal tersebut lebih menjurus kearah ‘entertainment’ ketimbang proses transfer pengetahuan teknis. Banyak peternakan kini sudah memiliki tenaga ahli sendiri dan memiliki akses yang baik terhadap sumber informasi dan teknologi. Implikasinya, TS saat ini dituntut untuk terus ‘meng-update’ pengetahuan dan keterampilannya secara berkelanjutan sehingga bertransformasi menjadi Konsultan Profesional yang mampu menjadi bagian dari solusi. Bagi perusahaan yang memiliki komitmen, hal ini merupakan tantangan bagi manajemen untuk memiliki Departemen R & D, HRD, IT, UX (User Xperience) dan Customer Care yang lebih terintegrasi dengan kompetensi tinggi dan responsif.

Saat ini orang yang mengakses website terhadap suatu produk yang fungsional akan semakin banyak, sehingga website yang dimiliki perusahaan dapat dipertimbangkan untuk bertrabsformasi menjadi sebuah “Aplikasi”.  Namun jika yang mengakses sangat sedikit, maka hal ini juga dapat dibaca sebagai indikasi bahwa mungkin website atau aplikasi perusahaan kurang menarik, terlalu lambat, terlalu biroktaris, atau kebutuhan informasi yang diinginkan tidak terpenuhi oleh website dan aplikasi kita. Memang begitu banyak Web, Blog, Apps atau portal yang bagus untuk menjadi patok duga (benchmark), tetapi bukan berarti kita harus bersaing dengan sesuatu yang bukan domain kita. Yang lebih realistis dilakukan perusahaan untuk membantu TS nya adalah dengan menghimpun semua informasi yang relevan dengan kebutuhan TS, kemudian mentransformasinya dalam format yang aplikatif dan menghasilkan benefit. Penampilan website yang memiliki ‘Link’ dengan pusat informasi yang searah dengan missi perusahaan akan sangat memudahkan dan memperoleh apresiasi yang tinggi dari pelanggan.

. Era TS generasi baru sudah mulai merupakan kebutuhan. Namun bukan hanya   Notebook dengan ‘Mobile Modem’ yang harus melengkapi seorang TS.  Bekal dari manajemen berupa training dengan masa inkubasi yang cukup hendaknya mendasari pola komunikasi dan bekerja sama dalam memperkuat komunitas. Sudah saatnya kita menghadirkan pola persaingan yang bersahabat. Zaman persaingan ‘berdarah-darah’ hanya tinggal di jalur Gaza atau Syria.  Sedangkan di jalur ‘Parung – Gunung Sindur’ , ‘Blitar - Kediri – Pare’, Medan – Pantai Labu, Pangkajene Sidrap atau jalur padat ternak lainnya sudah harus menampilkan peta persaingan yang “Coop-tative” yaitu “Cooperation in Competitive Season” – Kerjasama dalam suasana persaingan yang sehat. Ikhtiar memang harus dilakukan, tetapi jangan sampai mencederai persaudaraan kita sebagai TS yang bermartabat. Semoga regenerasi TS akan menjadikan bidang peternakan menjadi tulang punggung pertumbuhan nasional.  (DKG)  

Penulis adalah Wakil Ketua YAPPI

 

Profil

 
Copyright © 2014 YAPPI. Designed by OddThemes